[PDF] Jurnalisme Sastrawi - eBooks Review

Jurnalisme Sastrawi


Jurnalisme Sastrawi
DOWNLOAD

Download Jurnalisme Sastrawi PDF/ePub or read online books in Mobi eBooks. Click Download or Read Online button to get Jurnalisme Sastrawi book now. This website allows unlimited access to, at the time of writing, more than 1.5 million titles, including hundreds of thousands of titles in various foreign languages. If the content not found or just blank you must refresh this page



Jurnalisme Sastrawi


Jurnalisme Sastrawi
DOWNLOAD
Author :
language : id
Publisher: Kepustakaan Populer Gramedia
Release Date : 2008

Jurnalisme Sastrawi written by and has been published by Kepustakaan Populer Gramedia this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2008 with Journalism categories.




Jurnalisme Sastrawi


Jurnalisme Sastrawi
DOWNLOAD
Author : Agus Sopian
language : id
Publisher: Kepustakaan Populer Gramedia
Release Date : 2008-03-06

Jurnalisme Sastrawi written by Agus Sopian and has been published by Kepustakaan Populer Gramedia this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2008-03-06 with Poetry categories.


JURNALISME SASTRAWI merupakan satu genre dalam jurnalisme yang pada mulanya berkembang di Amerika Serikat tahun 1960-an. Genre ini menggabungkan disiplin paling berat dalam jurnalisme serta kehalusan dan kenikmatan bercerita dalam novel. Wawancara biasa dilakukan dengan puluhan, bahkan sering ratusan, narasumber. Risetnya mendalam. Waktu bekerjanya lama, bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Beberapa wartawan majalah Pantau mencoba belajar memakai genre ini untuk mengembangkan jurnalisme berbahasa Melayu. Dari Agus Sopian hingga Linda Christanty memasukkan elemen-elemen jurnalisme sastrawi dalam karya mereka. Dari pembantaian orang Aceh hingga hiruk-pikuk larangan musik Koes Bersaudara, dari soal wartawan Ambon yang ikut memanasi sentimen Kristen-Islam hingga kemiskinan di Jakarta. ÒGabungan antara yang terbaik dari jurnalisme dan yang terbaik dari sastra dapat menghasilkan tulisan nonfiksi yang kuat dan efektif ... inilah buktinya.Ó Endy Bayuni, Pemimpin Redaksi Harian The Jakarta Post, penerima Nieman Fellowship dari Universitas Harvard 2003-2004 ÒKarya-karya ini bukan cuma mewakili sesuatu yang baru dan menarik dalam jurnalisme di Indonesia, namun juga memenuhi panggilan mulia setiap wartawan: melayani warga.Ó Janet Steele , dosen Universitas George Washington, penulis buku Wars Within: A Story of Tempo, an Independent Magazine in SoehartoÕs Indonesia.



Jurnalisme Sastra


Jurnalisme Sastra
DOWNLOAD
Author : Septiawan Santana Kurnia
language : id
Publisher:
Release Date : 2002

Jurnalisme Sastra written by Septiawan Santana Kurnia and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2002 with Journalism categories.


Literary style of journalism in Indonesia.



Kisah Tentang Tembakau


Kisah Tentang Tembakau
DOWNLOAD
Author :
language : id
Publisher:
Release Date : 2012

Kisah Tentang Tembakau written by and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2012 with Cigarette habit categories.


On tobacco use in Indonesia; papers of a seminar.



Apoletheia The Poetical Truth


Apoletheia The Poetical Truth
DOWNLOAD
Author : Mochamad Bayu Ari Sasmita dkk.
language : id
Publisher: GUEPEDIA
Release Date :

Apoletheia The Poetical Truth written by Mochamad Bayu Ari Sasmita dkk. and has been published by GUEPEDIA this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on with Antiques & Collectibles categories.


Apoletheia: The Poetical Truth PENULIS: Mochamad Bayu Ari Sasmita dkk. ISBN : 978-623-251-403-4 Terbit : Februari 2020 Harga : Rp 71000 www.guepedia.com Sinopsis: Buku ini merupakan kumpulan karya jurnalisme sastrawi dari kelas mata kuliah jurnalisme sastra Universitas Negeri Malang yang dibimbing oleh Prof. Dr. Djoko Saryono. Penulisan karya liputan dalam buku ini mengamalkan sifat khas dari liputan jurnalisme sastra, yakni fakta rasa fiksi. Karya dengan kemasan cerpen namun berisi fakta atau berita. Topik-topik yang diangkat merupakan topik sosial budaya. Topik-topik tersebut antara lain penerimaan terhadap film Bumi Manusia dan novel Harry Potter, eksistensi Batik Celaket, keberadaan penerbitan, sejarah komunitas Pelangi Sastra, tren teater sepasang aktor, dan tentang lirik-lirik lagu Iksan Skuter. www.guepedia.com Email : [email protected] WA di 081287602508 Happy shopping & reading Enjoy your day, guys



Jurnalisme Sastrawi


Jurnalisme Sastrawi
DOWNLOAD
Author :
language : id
Publisher:
Release Date : 2005

Jurnalisme Sastrawi written by and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2005 with Journalism categories.




Journalism Today


Journalism Today
DOWNLOAD
Author : Andi Fachruddin
language : id
Publisher: Kencana
Release Date : 2019-01-01

Journalism Today written by Andi Fachruddin and has been published by Kencana this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2019-01-01 with Social Science categories.


Industri televisi telah menjadi bisnis yang sangat penting dan dominan di Indonesia dengan simbiosis mutualisme secara kelembagaan, profesi, hingga menjadi bagian konglomerasi media yang mengakar kuat. Proses perkembangan industri televisi secara masif, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah penyiaran di Indonesia. Semenjak era analog, keberadaan Board of Censorship, Regulasi Media, Sistem Stasiun Berjaringan, Programming Radio/TV, bahkan tren era digitalisasi penyiaran akan secara komprehensif dijabarkan dengan gaya penulisan yang mudah dipahami bab per bab. Buku persembahan penerbit Prenada Media Group.



News Storytelling


News Storytelling
DOWNLOAD
Author : Sisca T. Gurning
language : id
Publisher: Prenada Media
Release Date : 2024-07-01

News Storytelling written by Sisca T. Gurning and has been published by Prenada Media this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2024-07-01 with Business & Economics categories.


Buku "News Storytelling: Penceritaan Berita Media Penyiaran Digital" membawa pembaca dalam perjalanan eksplorasi perkembangan media dalam era digital, khususnya di bidang pemberitaan dan penyiaran. Dengan melibatkan konsep-konsep storytelling, buku ini menyajikan pandangan yang menyeluruh tentang transformasi media dari era tradisional ke era digital yang didorong oleh pesatnya perkembangan teknologi telekomunikasi, terutama internet. Konsep storytelling (bercerita) menjadi fokus utama dan dijelaskan sebagai bagian integral dari evolusi komunikasi manusia sepanjang sejarah. Pentingnya storytelling dalam konteks pemberitaan di media sosial atau di era media digital, telah menjadi sorotan, di mana kemampuan menyampaikan pesan dan informasi melalui gambar dan suara menjadi kunci keberhasilan penceritaan berita. Buku ini juga mencermati peran penting media penyiaran digital dan media sosial dalam memberikan ruang bagi storytellers untuk berbagi konten audio visual, yang saat ini banyak diakses melalui berbagai platform. Pembahasan buku mulai dari sejarah storytelling hingga perkembanganya ke media digital. Sehingga pembaca dapat memahami bagaimana penceritaan berita bisa muncul dan lahirnya konsep jurnalisme sastra pada era media cetak, hingga perkembangan ke media digital storytelling dan multimedia storytelling. Perangkat alat liputan pun semakin sederhana dan muda digunakan siapa saja, sehingga melahirkan konsep jurnalisme warga dan mobile journalism (jurnalisme ponsel), juga dibahas di buku ini. Buku ini diperuntukan bagi pembaca yang bekerja di dunia media, baik itu sebagai jurnalis warga, jurnalis independen, konten kreator, maupun mahasiswa. Buku ini bertujuan meningkatkan pemahaman dan keterampilan pembuatan cerita dengan konten video dalam konteks media penyiaran digital. Diharapkan buku ini memberikan kontribusi berharga bagi para pekerja media dan peminat dunia penyiaran. Buku persembahan penerbit PrenadaMediaGroup #Kencana



Jurnalisme Dasar


Jurnalisme Dasar
DOWNLOAD
Author : Asti Musman
language : id
Publisher: Anak Hebat Indonesia
Release Date : 2017-08-26

Jurnalisme Dasar written by Asti Musman and has been published by Anak Hebat Indonesia this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2017-08-26 with Language Arts & Disciplines categories.


“Sangatlah jarang wartawan atau praktisi media massa di Indonesia yang menulis buku tentang jurnalistik. Makanya. Ketika ada seorang jurnalis yang menulis buku jurnalistik itu special dan pasti menarik. Karya jurnalis ini layak diapresiasi”. (Ketua PWI DIY, Sihono). “Muatan yang tertera dalam buku ini memberi peluang kepada wartawan dan masyarakat umum untuk mengerti, merasakan, dan melaksanakan cara menulis yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik”. (Panitera Harian Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Yogyakarta).



Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas


Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
DOWNLOAD
Author : Katrin Bandel
language : id
Publisher: Indie Book Corner
Release Date : 2013-10-07

Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas written by Katrin Bandel and has been published by Indie Book Corner this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2013-10-07 with Criticism categories.


Pengantar Katrin Bandel Bagi saya, salah satu unsur terpenting dalam penulisan esei adalah memposisikan diri. Memposisikan diri bisa dimaknai sebagai “berpendapat”, dalam arti mengekspresikan pandangan atau penilaian mengenai permasalahan tertentu. Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam jangka waktu tujuh tahun yang terdokumentasikan dalam kumpulan esei ini, usaha memposisikan diri juga semakin sering dan semakin eksplisit saya kaitkan dengan peta relasi kekuasaan global dan posisi saya sendiri di dalamnya. Sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa yang menulis dalam bahasa Indonesia, di manakah saya berdiri? Ada persoalan apa dengan identitas saya sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa, dan apa kaitannya dengan kegiatan tulis-menulis yang saya geluti? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin berangkat dari sebuah anekdot yang diceritakan pemikir pascakolonial asal India Gayatri Chakravorty Spivak dalam sebuah dialog seputar masalah representasi: I will have in an undergraduate class, let’s say, a young, white male student, politically-correct, who will say: ‘I am only a bourgeois white male, I can’t speak.’ In that situation—it’s peculiar, because I am in the position of power and their teacher and, on the other hand, I am not a bourgeois white male—I say to them: ‘Why not develop a certain degree of rage against the history that has written such an abject script for you that you are silenced?’ (Gayatri Chakravorty Spivak 1993, hlm. 197) (Misalnya, dalam sebuah kelas untuk matakuliah S1 yang saya ampu akan ada seorang mahasiswa laki-laki muda berkulit putih yang, karena ingin bersikap politically-correct, akan berkata: ‘Saya hanya laki-laki borjuis kulit putih, saya tidak bisa bicara.’ Dalam situasi tersebut—dan situasi itu memang unik, sebab saya dalam posisi berkuasa sebagai dosen mereka, tapi di sisi lain, saya bukan laki-laki borjuis berkulit putih—saya akan kemudian berkata pada mereka: ‘Kenapa Anda tidak mencoba untuk, sampai tingkat tertentu, menumbuhkan kemurkaan dalam diri Anda terhadap sejarah yang telah menuliskan naskah yang begitu keji bagi Anda, sehingga kini Anda tidak dapat bicara?’) Mengapa mahasiswa laki-laki borjuis berkulit putih itu merasa “tidak bisa bicara”? Mahasiswa tersebut tampaknya berangkat dari kesadaran bahwa identitasnya cenderung menempatkannya pada posisi yang sangat diuntungkan. Untuk masa yang cukup lama, justru umumnya hanya laki-laki borjuis berkulit putih yang bisa dan berhak bicara, dalam arti diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangannya secara publik dan dengan demikian berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan (baik secara nasional/lokal maupun global). Manusia lain— perempuan, kelas buruh, orang berkulit coklat atau hitam—umumnya hanya dibicarakan, namun tidak diberi kesempatan untuk ikut bersuara. Political correctness yang disebut dalam anekdot di atas berdasar pada kesadaran akan ketidakadilan kondisi tersebut. Meskipun sampai saat ini tetap saja terdapat cukup banyak laki-laki borjuis berkulit putih yang berbicara dengan suara otoritatif seperti sediakala, di bidang-bidang akademis tertentu kini situasi telah berubah secara cukup substansial. Suara-suara lain kini ikut hadir, tidak jarang untuk menyampaikan gugatannya, antara lain lewat perspektif teoritis yang dikembangkan misalnya dalam Kajian Pascakolonial, Kajian Gender dan Kajian Budaya. Berangkat dari kesadaran akan perkembangan tersebut, di manakah kini posisi seorang laki-laki borjuis berkulit putih? Selain posisi otoritatif yang cenderung meniadakan perspektif lain, masih adakah pilihan lain yang tersedia? Tampaknya mahasiswa dalam anekdot Spivak di atas tidak melihat adanya alternatif apa pun, sehingga dia merasa satu-satunya pilihan adalah diam. Saya memang bukan laki-laki. Tapi sebagai orang Eropa berkulit putih yang berasal dari kelas menengah, saya tetap merasa tersapa oleh anekdot yang diceritakan Spivak. Sesuai dengan yang dikatakan Spivak, tidak jarang saya merasa ada semacam script (naskah) yang sudah disediakan untuk saya, dan script tersebut memang kurang mengenakkan. Apabila saya setia pada bidang studi yang saya pilih semasa kuliah (di dunia Barat), saya “seharusnya” menjadi indonesianis yang berperan menjelaskan kebudayaan Indonesia kepada orang sebangsa saya, atau kepada “komunitas akademis internasional” (alias komunitas akademis berbahasa Inggris). Dengan kata lain, saya seharusnya menduduki posisi otoritatif sebagai “ahli Indonesia” yang diberi wewenang khusus untuk berbicara mengenai Indonesia dalam forum-forum tertentu, dengan catatan bahwa sampai saat ini orang Indonesia sendiri kerapkali kurang memiliki akses untuk ikut bersuara dalam forum tersebut. Dari manakah datangnya script tersebut? Dalam karya monumentalnya Orientalism (1978) yang kerapkali disebut sebagai tonggak awal Kajian Pascakolonial, Edward Said mendeskripsikan betapa dalam tradisi pemikiran Barat tumbuh sebuah wacana khusus mengenai “Orient” (“Timur”), yaitu wacana “orientalisme”. “Timur” dipelajari sebagai sebuah entitas yang konon memiliki ciri khas sendiri, sehingga berbeda secara substansial dari “Barat”. Lewat wacana itu hadirlah sebuah suara otoritatif yang mendefinisikan dan menguasai “Timur”. Otoritas suara di sini secara langsung berkaitan dengan kekuasaan sebab wacana orientalisme berkembang bersamaan dengan kolonialisme. Pengetahuan tentang “Timur” dan penjajahan fisik saling menopang. Di dunia akademis, orientalisme antara lain mengambil bentuk institusi-institusi khusus yang melakukan atau mendukung studi mengenai “budaya oriental”. Struktur semacam itu kerapkali masih berbekas sampai saat ini, meskipun orientasi keilmuannya tentu saja sudah mengalami banyak perubahan. Misalnya, saat saya kuliah di Universitas Hamburg, Jerman, fakultas tempat saya mempelajari budaya Indonesia masih bernama “Orientalistik”. Jurusan yang saya ambil, yaitu jurusan “Bahasa dan Budaya Austronesia” (di mana bahasa Indonesia dipelajari sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia), merupakan salah satu jurusan tertua di universitas itu sebab jurusan itu berawal sebagai sebuah “institut kolonial”. Jerman memang sempat memiliki beberapa koloni di wilayah tersebut, yaitu di kepulauan Pasifik dan di Papua. Struktur-struktur semacam itu ikut melanggengkan relasi kekuasaan global yang timpang. Universitas di negara-negara Barat mempelajari budaya-budaya di seluruh dunia, kemudian pengetahuan tersebut dipublikasikan dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya di media-media akademis yang dipandang bergengsi dan terpercaya. Manusia-manusia yang budayanya dipelajari tersebut kerapkali melakukan hal sebaliknya, yaitu mempelajari bahasa dan budaya Barat, namun bukan dalam rangka memperoleh suara otoritatif seperti manusia Barat yang membicarakan “Timur”. Akses terhadap dunia Barat dirasakan perlu sebab pada kenyataan memang pengetahuan dan gaya hidup Barat tetap (atau bahkan semakin?) dominan secara global. Bahkan tidak jarang budaya sendiri kemudian dipelajari lewat pengetahuan Barat, misalnya lewat tulisan peneliti asing (orientalis). Sebagai manusia Eropa berpendidikan orientalis, saya tidak mungkin mengelak dari wacana tersebut. Namun meskipun secara institusional struktur-struktur orientalis yang hierarkis itu tetap dipertahankan, manusia-manusia yang bekerja dalam struktur tersebut belum tentu sepenuhnya patuh padanya. Misalnya, sebagian peneliti Barat yang bekerja di bidang “Studi Asia-Afrika” (untuk menyebut salah satu istilah yang telah menggantikan istilah “orientalisme” pada masa kini, termasuk di almamater saya Universitas Hamburg) kini bersikap kritis terhadap struktur-struktur tersebut, dan mengekspresikan kritik itu dalam tulisan-tulisan mereka. Di samping itu, usaha untuk lebih melibatkan suara-suara non-Barat dalam produksi pengetahuan tersebut pun banyak dilakukan. Dalam pengalaman pribadi saya, struktur yang timpang tersebut pada mulanya hanya saya rasakan secara samar-samar saja. Saat kuliah, saya tidak memiliki kesadaran politis yang cukup kuat, dan saya pun tidak pernah berkesempatan mempelajari teori pascakolonial atau teori-teori lain yang dapat membantu saya untuk sampai pada sebuah semangat yang lebih kritis dalam memandang dunia. Yang saya alami pada tahap itu hanya semacam perasaan kurang nyaman dan kurang termotivasi untuk memasuki dunia akademis di mana saya diharapkan memproduksi tulisan-tulisan berbahasa Jerman atau Inggris mengenai Indonesia. Untuk siapakah saya menulis, dan apa yang ingin dan perlu saya sampaikan? Pekerjaan tersebut terasa hambar dan kurang mengasyikkan. Perjalanan hidup kemudian membawa saya menetap dan bekerja di Indonesia. Disebabkan oleh kondisi hidup tersebut, saya lalu mulai aktif menulis dan berpublikasi bukan dalam bahasa Jerman atau Inggris, tapi dalam bahasa Indonesia. Hal itu pada mulanya saya lakukan sama sekali bukan disebabkan oleh sebuah semangat “heroik” untuk melawan struktur kekuasaan wacana akademis, namun sekadar mengikuti naluri dan keasyikan berkarya. Dengan menulis di Indonesia dalam bahasa Indonesia, saya merasa menyapa audiens yang jelas (yaitu orang-orang yang menaruh minat pada sastra Indonesia), dan lewat respon dan apresiasi yang saya peroleh saya pun merasakan betapa kontribusi tersebut memberi manfaat yang nyata bagi pembaca saya. Maka kemudian fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia pun berlanjut. Dalam perkembangannya, kadang-kadang terbersit niat untuk menulis dalam bahasa Inggris atau Jerman, dilandasi semacam rasa keharusan dan kecemasan. Pada awalnya saya tidak merefleksikannya lebih jauh, tapi saya sekadar secara samar-samar merasa bahwa ada yang aneh atau keliru pada perjalanan penulisan dan karir akademis saya. Sepertinya saya sedang “salah jalur”: bukan inilah pekerjaan yang “seharusnya” saya lakukan sebagai indonesianis! Namun karena permintaan untuk menyumbang tulisan dalam bahasa Indonesia atau menjadi pembicara dalam acara-acara berbahasa Indonesia terus-menerus berdatangan, dan berbagai perdebatan dan perkembangan di dunia sastra Indonesia terus memancing saya untuk ikut bersuara, rencana untuk menulis dalam bahasa Jerman atau Inggris itu sangat jarang terwujud. Saya tetap asyik menulis dalam bahasa Indonesia. Seiring dengan waktu, fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia semakin saya mantapkan sebagai pilihan yang memberi saya kesempatan untuk menduduki posisi yang sedikit unik. Peta relasi kekuasaan global yang saya gambarkan di atas semakin tampak bagi saya. Dengan demikian, perjalanan karir yang “salah jalur” itu pun berubah makna, yaitu menjadi keistimewaan yang saya syukuri. Tanpa pernah merencanakannya dengan sadar, saya rupanya sudah menyimpang dari script yang disediakan bagi saya. Meskipun tentu saja saya tetap tidak dapat sepenuhnya mengelak dari wacana orientalisme, paling tidak secara institusional saya kini berada pada jalur yang agak berbeda. Kumpulan esei ini mendokumentasikan perjalanan penulisan saya selama tujuh tahun terakhir, yaitu masa yang membawa saya kepada kesadaran semakin kritis akan relasi kekuasaan global yang membentuk dunia intelektual tempat saya berkarya. Dalam anekdot yang saya kutip di atas, Spivak menganjurkan sebuah “kemurkaan” atas “script keji” yang disediakan bagi kami, manusia keturunan penjajah yang mesti berhadapan dengan berbagai bentuk ketidakadilan yang disebabkan oleh ulah bangsa-bangsa kami. Kemurkaan semacam itu yang coba semakin eksplisit saya kembangkan dan saya ekspresikan dalam esei-esei saya.