[PDF] Politik Sastra - eBooks Review

Politik Sastra


Politik Sastra
DOWNLOAD

Download Politik Sastra PDF/ePub or read online books in Mobi eBooks. Click Download or Read Online button to get Politik Sastra book now. This website allows unlimited access to, at the time of writing, more than 1.5 million titles, including hundreds of thousands of titles in various foreign languages. If the content not found or just blank you must refresh this page



Politik Sastra Negara Ideologi


Politik Sastra Negara Ideologi
DOWNLOAD
Author : Aprinus Salam
language : id
Publisher: Pusat Studi Kebudayaan UGM
Release Date : 2016-01-07

Politik Sastra Negara Ideologi written by Aprinus Salam and has been published by Pusat Studi Kebudayaan UGM this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2016-01-07 with categories.


Terdapat suatu kecenderungan umum yang berkembang dalam masyarakat, yakni ketika sastra diposisikan sebagai fenomena yang hanya berhubungan dengan dunia khayalan. Paling dekat adalah pekerjaan orang-orang iseng untuk sekedar mengisi waktu dan secara signifikan tidak berkaitan dengan riuh rendah persoalan-persoalan bangsa yang sedang sibuk membangun. Mungkin juga hanya berharga sebagai pilihan terakhir mencari hiburan eksklusif, untuk memberi kesan, dan upaya legitimasi, bahwa sebetulnya kita merupakan bangsa yang beradab. Situasi paradigmatik tersebut secara keseluruhan berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil oleh negara dan masyarakat, baik pada tingkat politik ekonomi pendidikan nasional dalam menempatkan kesusastraan, maupun, sebagai implikasinya, yang tercermin pada aspek-aspek teoretis dan pragmatis dalam kurikulum pendidikan dan buku-buku teks pelajaran tentang kesusastraan. Situasi tersebut hingga kini sebagian besar masih cukup terpelihara sehingga tidak perlu terlalu berharap berkembangnya penghormatan yang sama terhadap sastra dibanding yang nonsastra. Akan tetapi, di pihak lain, terdapat situasi-situasi berbeda yang juga berkembang yang menuntut dan menempatkan karya sastra berperan lebih penting dalam proses-proses sosial, politik, dan kebudayaan. Khususnya pada akhir dekade 1980-an, secara teoretis upaya-upaya tersebut semakin berpengaruh dan lambat laun mulai mendapat dukungan yang cukup luas. Kajian dalam buku ini, katakanlah begitu, merupakan salah satu upaya analisis dan signifikansi terhadap karya sastra untuk ikut mendukung kecenderungan tersebut. Seperti diketahui, pada tahun 1980-an hingga 1990-an, di Yogyakarta khususnya, terjadi perebakan, atau mungkin semacam kebangkitan puisi sufi. Pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa dan ada apa dalam puisi sufi, kenapa tidak jenis puisi yang lain yang dipilih para penyair sebagai sarana mengekspresikan gagasannya. Perebakan dan kebangkitan tersebut tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri, apalagi jika dilihat bahwa pada waktu itu rezim Orde Baru berada dalam masa puncak kekuasannya.



Politik Sastra


Politik Sastra
DOWNLOAD
Author : Saut Situmorang
language : id
Publisher:
Release Date : 2009

Politik Sastra written by Saut Situmorang and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2009 with Indonesian literature categories.


Essays of criticism on Indonesian literatures.



Sastra Dan Politik


Sastra Dan Politik
DOWNLOAD
Author : Ariel Heryanto
language : id
Publisher:
Release Date : 1984

Sastra Dan Politik written by Ariel Heryanto and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 1984 with Indonesian literature categories.




Djoernal Sastra


Djoernal Sastra
DOWNLOAD
Author : Saut Situmorang, dkk
language : id
Publisher: Indie Book Corner
Release Date : 2012-11-01

Djoernal Sastra written by Saut Situmorang, dkk and has been published by Indie Book Corner this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2012-11-01 with Criticism categories.


5 Tahun boemipoetra, Pena Dilesatkan djoernal sastra boemipoetra, merupakan salah satu dari sekian djoernal sastra yang terbit di Indonesia. Kemunculannya diragukan banyak orang. Terutama dengan daya tahan hidup. Kuat berapa bulankah jurnal yang cuma dibiayai semangat dan senantiasa urunan/patungan para redakturnya itu. Di era kapitalistik seperti sekarang ini, keraguan tersebut sangatlah pantas. Ketika lebih banyak orang yang berlomba mengumpulkan harta, ternyata masih ada yang peduli menyisihkan harta untuk sastra. Untuk apa? Tentu untuk membangun kesusastraan yang lebih bermartabat. Mainstream kesusastraan bukanlah satu warna. Bukan melulu satu kanal. Yang lebih sering didiktekan para redaktur media. Bagaimana pun urusan estetika adalah soal subjektifitas. Setiap indinvidu mempunyai gaya. Seperti pelukis yang dibedakan coretan tangannya. Sastra tak melulu keindahan seni bahasa. Namun mesti mengarah pada seni pembangunan moral. Harga tersebut tak bisa ditawar. boemipoetra lahir untuk menjadi mitra diskusi. Menjadi lorong baru, di antara sekian lorong yang telah terbangun. Caranya mungkin yang berbeda. Agak menyentak. Namun tetap mengedepankan fakta-fakta yang selama ini ditilap dari ruang publik. Itulah yang menjadi ciri khas boemipoetra. Bicara tanpa tedeng aling-aling. Beberapa pihak menyatakan telah terjadi ‘kekerasan kebudayaan’. Padahal sesungguhnya personal-personal boemipoetra(lah) yang terkena ‘kekerasan kebudayaan’, terlempar dari ruang-ruang budaya di media. Tersingkir dari festival-festival satu warna. Tak apa, perjuangan memang butuh pengorbanan. Tak adanya dana asing yang masuk pada boemipoetra membuktikan bahwa djoernal ini benar-benar mandiri. Boekan Milik Antek Imperialis. Tidak terdikte. Benar-benar membela kepentingan kaum boemipoetra. Kaum yang sering dilecehkan oleh bangsanya sendiri yang tega menjual harga diri untuk kepentingan asing. Mesti diingat, 350 tahun negeri ini dijajah Belanda. Setiap penjajah senantiasa membutuhkan kekuatan militer. Dan lebih dari 80% tentara Belanda adalah orang-orang pribumi yang gampang diperalat dengan gulden. Sampai sekarang orang pribumi yang gampang diperalat itu tetap ada. Memang tidak banyak, namun kekuatan legitimasi asing yang melekat pada dirinya, sanggup mendominasi setiap ruang. Mematahkan perlawanan kaum pribumi tulen. Sesungguhnya, mereka yang buruk tak lebih dari 20%. Sayangnya merekalah yang cenderung mendapat kepercayaan. Sehingga 80% yang baik seperti hilang ditelan awan. Dengan kesadaran bahwa kesusastraan adalah keberagaman, boemipoetra menggelinding deras. Tak peduli, diperkirakan umurnya cuma beberapa bulan. Di dalamnya ada yang Nasionalis, Marxis, Islam Tradisional, Islam Garis Keras. Ada bakul gudeg, wartawan, teaterawan, buruh, fesbooker, pegawai negeri. Ada yang di Jakarta, Yogya, Tangerang, Banten, Kudus, Ngawi. Sangat plural. Namun tetap menjunjung semangat yang sama. Tetap bisa berdiskusi untuk memutuskan kesepakatan yang dijadikan pedoman bersastra. Dan, ketika boemipoetra telah mencapai umur 5 tahun, ada baiknya djoernal-djoernal boemipoetra yang bertebaran dijadikan buku. Sebagai pelajaran bagi kesusastraan kita bahwa di mana tumbuh rezim sastra, disitu akan lahir pejuang-pejuang yang menentangnya. Dan setiap pejuang tak pernah berpikir jadi pahlawan atau pecundang. Yang penting bendera mesti diangkat tinggi-tinggi. Pena dilesatkan. Redaksi



Sastra Pencerahan


Sastra Pencerahan
DOWNLOAD
Author : Abdul Wachid BS
language : id
Publisher: BASABASI
Release Date :

Sastra Pencerahan written by Abdul Wachid BS and has been published by BASABASI this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on with Fiction categories.


Buku ini merupakan penyatuan dua bunga rampai esai karya Abdul Wachid B.S. yang telah terbit sebelumnya, yakni Sastra Pencerahan (2005) dan Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (2005). Buku ini hadir sebagai satu ikatan atas gagasan-gagasan mengenai dunia kesusastraan di Indonesia dari seorang penyair yang juga seorang akademisi sastra. Buku pertama berisi esai-esai yang merespons persoalan-persoalan sastra di Indonesia yang kontekstual dengan kondisi sosial politik era Orde Baru. Buku kedua berisi esai analisis mengenai perpuisian modern para penyair di Indonesia. Judul Sastra Pencerahan untuk penerbitan edisi kedua ini dipilih justru bermaksud untuk didiskusikan, sebab sebagian besar esai di sini merupakan gambaran bagaimana karya sastra menjadi bagian penting dari upaya pencerahan suatu zaman, dan boleh jadi, pada gilirannya, sastra kemudian juga perlu dicerahkan melalui kritik yang bernas.



Approaches To The Qur An In Contemporary Indonesia


Approaches To The Qur An In Contemporary Indonesia
DOWNLOAD
Author : Abdullah Saeed
language : en
Publisher: Oxford University Press
Release Date : 2005-11-10

Approaches To The Qur An In Contemporary Indonesia written by Abdullah Saeed and has been published by Oxford University Press this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2005-11-10 with Language Arts & Disciplines categories.


"Indonesia, the world's most populous Muslim country, has a vibrant intellectual community that is undertaking interesting and challenging work on Islam. This volume brings together a cross-section of Muslim intellectuals, from traditionalists to neo-modernists, and makes their varied approaches to the Qur'an accessible in English to a wider, global audience for the first time."--BOOK JACKET.



Literature Education In The Asia Pacific


Literature Education In The Asia Pacific
DOWNLOAD
Author : Chin Ee Loh
language : en
Publisher: Routledge
Release Date : 2018-03-29

Literature Education In The Asia Pacific written by Chin Ee Loh and has been published by Routledge this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2018-03-29 with Education categories.


The continual rise of English as a global lingua franca has meant that English literature, both as a discipline and as a tool in ESL and EFL classrooms, is being used in varied ways outside the inner circle of English. This edited collection provides an overview of English literature education in the Asia-Pacific in global times, bringing to international attention a rich understanding of the trends, issues and challenges specific to nations within the Asia-Pacific region. Comprising contributions from Australia, China, Hong Kong, India, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore and Vietnam, the collection addresses the diversity of learners in different national, cultural and teaching contexts. In doing so, it provides insights into historical and current trends in literature education, foregrounds specific issues and challenges in policymaking and implementation, presents practical matters concerning text selection, use of literature in the language classroom, innovative practices in literature education, and raises pressing and important questions about the nature, purpose and importance of literature education in global times.



Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas


Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
DOWNLOAD
Author : Katrin Bandel
language : id
Publisher: Indie Book Corner
Release Date : 2013-10-07

Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas written by Katrin Bandel and has been published by Indie Book Corner this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2013-10-07 with Criticism categories.


Pengantar Katrin Bandel Bagi saya, salah satu unsur terpenting dalam penulisan esei adalah memposisikan diri. Memposisikan diri bisa dimaknai sebagai “berpendapat”, dalam arti mengekspresikan pandangan atau penilaian mengenai permasalahan tertentu. Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam jangka waktu tujuh tahun yang terdokumentasikan dalam kumpulan esei ini, usaha memposisikan diri juga semakin sering dan semakin eksplisit saya kaitkan dengan peta relasi kekuasaan global dan posisi saya sendiri di dalamnya. Sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa yang menulis dalam bahasa Indonesia, di manakah saya berdiri? Ada persoalan apa dengan identitas saya sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa, dan apa kaitannya dengan kegiatan tulis-menulis yang saya geluti? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin berangkat dari sebuah anekdot yang diceritakan pemikir pascakolonial asal India Gayatri Chakravorty Spivak dalam sebuah dialog seputar masalah representasi: I will have in an undergraduate class, let’s say, a young, white male student, politically-correct, who will say: ‘I am only a bourgeois white male, I can’t speak.’ In that situation—it’s peculiar, because I am in the position of power and their teacher and, on the other hand, I am not a bourgeois white male—I say to them: ‘Why not develop a certain degree of rage against the history that has written such an abject script for you that you are silenced?’ (Gayatri Chakravorty Spivak 1993, hlm. 197) (Misalnya, dalam sebuah kelas untuk matakuliah S1 yang saya ampu akan ada seorang mahasiswa laki-laki muda berkulit putih yang, karena ingin bersikap politically-correct, akan berkata: ‘Saya hanya laki-laki borjuis kulit putih, saya tidak bisa bicara.’ Dalam situasi tersebut—dan situasi itu memang unik, sebab saya dalam posisi berkuasa sebagai dosen mereka, tapi di sisi lain, saya bukan laki-laki borjuis berkulit putih—saya akan kemudian berkata pada mereka: ‘Kenapa Anda tidak mencoba untuk, sampai tingkat tertentu, menumbuhkan kemurkaan dalam diri Anda terhadap sejarah yang telah menuliskan naskah yang begitu keji bagi Anda, sehingga kini Anda tidak dapat bicara?’) Mengapa mahasiswa laki-laki borjuis berkulit putih itu merasa “tidak bisa bicara”? Mahasiswa tersebut tampaknya berangkat dari kesadaran bahwa identitasnya cenderung menempatkannya pada posisi yang sangat diuntungkan. Untuk masa yang cukup lama, justru umumnya hanya laki-laki borjuis berkulit putih yang bisa dan berhak bicara, dalam arti diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangannya secara publik dan dengan demikian berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan (baik secara nasional/lokal maupun global). Manusia lain— perempuan, kelas buruh, orang berkulit coklat atau hitam—umumnya hanya dibicarakan, namun tidak diberi kesempatan untuk ikut bersuara. Political correctness yang disebut dalam anekdot di atas berdasar pada kesadaran akan ketidakadilan kondisi tersebut. Meskipun sampai saat ini tetap saja terdapat cukup banyak laki-laki borjuis berkulit putih yang berbicara dengan suara otoritatif seperti sediakala, di bidang-bidang akademis tertentu kini situasi telah berubah secara cukup substansial. Suara-suara lain kini ikut hadir, tidak jarang untuk menyampaikan gugatannya, antara lain lewat perspektif teoritis yang dikembangkan misalnya dalam Kajian Pascakolonial, Kajian Gender dan Kajian Budaya. Berangkat dari kesadaran akan perkembangan tersebut, di manakah kini posisi seorang laki-laki borjuis berkulit putih? Selain posisi otoritatif yang cenderung meniadakan perspektif lain, masih adakah pilihan lain yang tersedia? Tampaknya mahasiswa dalam anekdot Spivak di atas tidak melihat adanya alternatif apa pun, sehingga dia merasa satu-satunya pilihan adalah diam. Saya memang bukan laki-laki. Tapi sebagai orang Eropa berkulit putih yang berasal dari kelas menengah, saya tetap merasa tersapa oleh anekdot yang diceritakan Spivak. Sesuai dengan yang dikatakan Spivak, tidak jarang saya merasa ada semacam script (naskah) yang sudah disediakan untuk saya, dan script tersebut memang kurang mengenakkan. Apabila saya setia pada bidang studi yang saya pilih semasa kuliah (di dunia Barat), saya “seharusnya” menjadi indonesianis yang berperan menjelaskan kebudayaan Indonesia kepada orang sebangsa saya, atau kepada “komunitas akademis internasional” (alias komunitas akademis berbahasa Inggris). Dengan kata lain, saya seharusnya menduduki posisi otoritatif sebagai “ahli Indonesia” yang diberi wewenang khusus untuk berbicara mengenai Indonesia dalam forum-forum tertentu, dengan catatan bahwa sampai saat ini orang Indonesia sendiri kerapkali kurang memiliki akses untuk ikut bersuara dalam forum tersebut. Dari manakah datangnya script tersebut? Dalam karya monumentalnya Orientalism (1978) yang kerapkali disebut sebagai tonggak awal Kajian Pascakolonial, Edward Said mendeskripsikan betapa dalam tradisi pemikiran Barat tumbuh sebuah wacana khusus mengenai “Orient” (“Timur”), yaitu wacana “orientalisme”. “Timur” dipelajari sebagai sebuah entitas yang konon memiliki ciri khas sendiri, sehingga berbeda secara substansial dari “Barat”. Lewat wacana itu hadirlah sebuah suara otoritatif yang mendefinisikan dan menguasai “Timur”. Otoritas suara di sini secara langsung berkaitan dengan kekuasaan sebab wacana orientalisme berkembang bersamaan dengan kolonialisme. Pengetahuan tentang “Timur” dan penjajahan fisik saling menopang. Di dunia akademis, orientalisme antara lain mengambil bentuk institusi-institusi khusus yang melakukan atau mendukung studi mengenai “budaya oriental”. Struktur semacam itu kerapkali masih berbekas sampai saat ini, meskipun orientasi keilmuannya tentu saja sudah mengalami banyak perubahan. Misalnya, saat saya kuliah di Universitas Hamburg, Jerman, fakultas tempat saya mempelajari budaya Indonesia masih bernama “Orientalistik”. Jurusan yang saya ambil, yaitu jurusan “Bahasa dan Budaya Austronesia” (di mana bahasa Indonesia dipelajari sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia), merupakan salah satu jurusan tertua di universitas itu sebab jurusan itu berawal sebagai sebuah “institut kolonial”. Jerman memang sempat memiliki beberapa koloni di wilayah tersebut, yaitu di kepulauan Pasifik dan di Papua. Struktur-struktur semacam itu ikut melanggengkan relasi kekuasaan global yang timpang. Universitas di negara-negara Barat mempelajari budaya-budaya di seluruh dunia, kemudian pengetahuan tersebut dipublikasikan dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya di media-media akademis yang dipandang bergengsi dan terpercaya. Manusia-manusia yang budayanya dipelajari tersebut kerapkali melakukan hal sebaliknya, yaitu mempelajari bahasa dan budaya Barat, namun bukan dalam rangka memperoleh suara otoritatif seperti manusia Barat yang membicarakan “Timur”. Akses terhadap dunia Barat dirasakan perlu sebab pada kenyataan memang pengetahuan dan gaya hidup Barat tetap (atau bahkan semakin?) dominan secara global. Bahkan tidak jarang budaya sendiri kemudian dipelajari lewat pengetahuan Barat, misalnya lewat tulisan peneliti asing (orientalis). Sebagai manusia Eropa berpendidikan orientalis, saya tidak mungkin mengelak dari wacana tersebut. Namun meskipun secara institusional struktur-struktur orientalis yang hierarkis itu tetap dipertahankan, manusia-manusia yang bekerja dalam struktur tersebut belum tentu sepenuhnya patuh padanya. Misalnya, sebagian peneliti Barat yang bekerja di bidang “Studi Asia-Afrika” (untuk menyebut salah satu istilah yang telah menggantikan istilah “orientalisme” pada masa kini, termasuk di almamater saya Universitas Hamburg) kini bersikap kritis terhadap struktur-struktur tersebut, dan mengekspresikan kritik itu dalam tulisan-tulisan mereka. Di samping itu, usaha untuk lebih melibatkan suara-suara non-Barat dalam produksi pengetahuan tersebut pun banyak dilakukan. Dalam pengalaman pribadi saya, struktur yang timpang tersebut pada mulanya hanya saya rasakan secara samar-samar saja. Saat kuliah, saya tidak memiliki kesadaran politis yang cukup kuat, dan saya pun tidak pernah berkesempatan mempelajari teori pascakolonial atau teori-teori lain yang dapat membantu saya untuk sampai pada sebuah semangat yang lebih kritis dalam memandang dunia. Yang saya alami pada tahap itu hanya semacam perasaan kurang nyaman dan kurang termotivasi untuk memasuki dunia akademis di mana saya diharapkan memproduksi tulisan-tulisan berbahasa Jerman atau Inggris mengenai Indonesia. Untuk siapakah saya menulis, dan apa yang ingin dan perlu saya sampaikan? Pekerjaan tersebut terasa hambar dan kurang mengasyikkan. Perjalanan hidup kemudian membawa saya menetap dan bekerja di Indonesia. Disebabkan oleh kondisi hidup tersebut, saya lalu mulai aktif menulis dan berpublikasi bukan dalam bahasa Jerman atau Inggris, tapi dalam bahasa Indonesia. Hal itu pada mulanya saya lakukan sama sekali bukan disebabkan oleh sebuah semangat “heroik” untuk melawan struktur kekuasaan wacana akademis, namun sekadar mengikuti naluri dan keasyikan berkarya. Dengan menulis di Indonesia dalam bahasa Indonesia, saya merasa menyapa audiens yang jelas (yaitu orang-orang yang menaruh minat pada sastra Indonesia), dan lewat respon dan apresiasi yang saya peroleh saya pun merasakan betapa kontribusi tersebut memberi manfaat yang nyata bagi pembaca saya. Maka kemudian fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia pun berlanjut. Dalam perkembangannya, kadang-kadang terbersit niat untuk menulis dalam bahasa Inggris atau Jerman, dilandasi semacam rasa keharusan dan kecemasan. Pada awalnya saya tidak merefleksikannya lebih jauh, tapi saya sekadar secara samar-samar merasa bahwa ada yang aneh atau keliru pada perjalanan penulisan dan karir akademis saya. Sepertinya saya sedang “salah jalur”: bukan inilah pekerjaan yang “seharusnya” saya lakukan sebagai indonesianis! Namun karena permintaan untuk menyumbang tulisan dalam bahasa Indonesia atau menjadi pembicara dalam acara-acara berbahasa Indonesia terus-menerus berdatangan, dan berbagai perdebatan dan perkembangan di dunia sastra Indonesia terus memancing saya untuk ikut bersuara, rencana untuk menulis dalam bahasa Jerman atau Inggris itu sangat jarang terwujud. Saya tetap asyik menulis dalam bahasa Indonesia. Seiring dengan waktu, fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia semakin saya mantapkan sebagai pilihan yang memberi saya kesempatan untuk menduduki posisi yang sedikit unik. Peta relasi kekuasaan global yang saya gambarkan di atas semakin tampak bagi saya. Dengan demikian, perjalanan karir yang “salah jalur” itu pun berubah makna, yaitu menjadi keistimewaan yang saya syukuri. Tanpa pernah merencanakannya dengan sadar, saya rupanya sudah menyimpang dari script yang disediakan bagi saya. Meskipun tentu saja saya tetap tidak dapat sepenuhnya mengelak dari wacana orientalisme, paling tidak secara institusional saya kini berada pada jalur yang agak berbeda. Kumpulan esei ini mendokumentasikan perjalanan penulisan saya selama tujuh tahun terakhir, yaitu masa yang membawa saya kepada kesadaran semakin kritis akan relasi kekuasaan global yang membentuk dunia intelektual tempat saya berkarya. Dalam anekdot yang saya kutip di atas, Spivak menganjurkan sebuah “kemurkaan” atas “script keji” yang disediakan bagi kami, manusia keturunan penjajah yang mesti berhadapan dengan berbagai bentuk ketidakadilan yang disebabkan oleh ulah bangsa-bangsa kami. Kemurkaan semacam itu yang coba semakin eksplisit saya kembangkan dan saya ekspresikan dalam esei-esei saya.





DOWNLOAD
Author :
language : en
Publisher: Soffer Publishing
Release Date :

written by and has been published by Soffer Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on with categories.




Sastra Negara Dan Perubahan Sosial


Sastra Negara Dan Perubahan Sosial
DOWNLOAD
Author : Aprinus Salam
language : id
Publisher: Pusat Studi Kebudayaan UGM
Release Date :

Sastra Negara Dan Perubahan Sosial written by Aprinus Salam and has been published by Pusat Studi Kebudayaan UGM this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on with categories.


Penelitian ini mengkaji persoalan keberadaan negara dan perubahan sosial berdasarkan novel-novel yang terbit pada tahun 1980-an dan 1990-an. Topik tersebut dipilih karena empat alasan yang saling melengkapi. Pertama, pada tahun-tahun tersebut negara memperlihatkan dominasi yang amat kuat dalam mengontrol pembangunan dan perubahan sosial. Kedua, praksis universalisme, kapitalisme, modernisme, dan teknologisme dalam masyarakat Indonesia yang semakin dominan. Ketiga, munculnya isu dan wacana sastra kontekstual dan warna lokal sebagai suatu resistensi kultural. Keempat, dalam bidang pemikiran kebudayaan (dan sastra) muncul pertanyaan tentang arah perubahan sosial. Adapun fokus kajian disertasi ini adalah sebagai berikut. Pertama, suatu pemetaan diskursif keberadaan negara dan perubahan sosial yang direpresentasikan novel-novel Indonesia pada tahun-tahun tersebut. Kedua, suatu kajian tentang model relasi negara dan masyarakat, faktor penyebab, praksis waktu dan penggunaan ruang, mekanisme, dan proses perubahan sosial dalam novel-novel. Ketiga, suatu kajian tentang ideologi berkaitan dengan respons, arah perubahan sosial, dan implikasi wacana pembangunan masyarakat modern berhadapan dengan pembangunan manusia seutuhnya seperti terdapat dalam novel-novel.