Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern


Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern
DOWNLOAD

Download Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern PDF/ePub or read online books in Mobi eBooks. Click Download or Read Online button to get Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern book now. This website allows unlimited access to, at the time of writing, more than 1.5 million titles, including hundreds of thousands of titles in various foreign languages. If the content not found or just blank you must refresh this page





Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern


Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern
DOWNLOAD

Author :
language : id
Publisher: Yayasan Obor Indonesia
Release Date : 2006-01-01

Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern written by and has been published by Yayasan Obor Indonesia this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2006-01-01 with Biography & Autobiography categories.




Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern


Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern
DOWNLOAD

Author : Keith Foulcher
language : id
Publisher: Yayasan Obor Indonesia
Release Date : 2006-01-01

Clearing A Space Kritik Pasca Kolonial Tentang Sastra Indonesia Modern written by Keith Foulcher and has been published by Yayasan Obor Indonesia this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2006-01-01 with Biography & Autobiography categories.




Sastra Di Sekolah Sapardi Djoko Damono


Sastra Di Sekolah Sapardi Djoko Damono
DOWNLOAD

Author :
language : id
Publisher: Yayasan Obor Indonesia
Release Date :

Sastra Di Sekolah Sapardi Djoko Damono written by and has been published by Yayasan Obor Indonesia this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on with categories.




Gagaklodra Makassar


Gagaklodra Makassar
DOWNLOAD

Author : Heri Kusuma Tarupay
language : id
Publisher: Sanata Dharma University Press
Release Date : 2020-03-11

Gagaklodra Makassar written by Heri Kusuma Tarupay and has been published by Sanata Dharma University Press this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2020-03-11 with Biography & Autobiography categories.


Gagaklodra yang ditulis oleh salah seorang Tionghoa peranakan bernama Njoo Cheong Seng (NCS) dalam kajian di buku ini berupaya memahami dan membantu bagaimana menghadapi sikap dan tindakan anti diskriminasi SARA dengan aksi-aksi nasionalis yang menyejarah dan revolusioner dalam gagasan sastra dan budaya “Homogeneous Empty Time”. Maka bukan kebetulan jika di buku ini Gagaklodra bukan sekadar bacaan hiburan yang bertendensi mengisi waktu luang, tetapi adalah semacam tuntunan untuk tidak cepat lupa terhadap jejak langkah nasionalisme dan revolusi di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat (Tionghoa) Makassar. Gagaklodra yang dikaji cukup mendalam di buku ini memperlihatkan, meski bukan berasal dari Makassar, betapa kota Makassar & Sulawesi mempunyai sejarah panjang dalam peradaban lokal, internasional dan bahkan kosmopolitan sangat memengaruhi Tionghoa Peranakan NCS untuk melahirkan Gagaklodra. NCS yang merupakan peranakan Tionghoa, telah menunjukkan cara hidup ber(se)sama dengan “bahasa bersama” dan tinggal dalam “masyarakat plural” seperti di Hindia Belanda dan/atau Indonesia masa kini. Karena sulit untuk dibantah bahwa pengalaman hidup ber(se)sama yang masih rawan dan rapuh dengan segala kesenjangan antar golongan SARA perlu selalu diwaspadai dengan amat jeli agar tidak mudah jatuh dalam bujuk rayu kuasa primordialisme kesukuan dan dinastik, apalagi sakralitas keagamaan dan mitologi mula jadi alam semesta. Semoga, melalui buku ini, para pembaca budiman semakin mampu berperan dalam strategi kebudayaan sastra (komik) yang revolusioner, nasionalis dan kosmopolitan, khususnya di Makassar. [AWAL KATA-KATA]



Roman Medan Sebuah Kota Membangun Harapan


Roman Medan Sebuah Kota Membangun Harapan
DOWNLOAD

Author : Koko Hendri Lubis
language : id
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Release Date : 2018-12-31

Roman Medan Sebuah Kota Membangun Harapan written by Koko Hendri Lubis and has been published by Gramedia Pustaka Utama this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2018-12-31 with Political Science categories.


Tembakau yang telah ditanam sejak 1862 menjadikan tanah Deli daerah yang lebih maju daripada kota-kota lainnya. Selain menjadi salah satu pusat seni pertunjukan, industri penerbitan majalah, surat kabar, komik, dan roman juga tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Modernisasi adalah napas kehidupan kota ini. Joesoef Sou’yb dan Matu Mona menjadi sosok yang sangat diperhitungkan dalam sejarah keberadaan roman-roman Medan. Karya-karya mereka sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda). Roman Medan lainnya juga disimpan di banyak negara seperti di Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Jepang, serta dimiliki oleh sekumpulan kolektor buku antik sebagai benda yang sangat bernilai. Seiring dengan berputarnya roda sejarah, pelopor roman Medan mengalami banyak tantangan pada masa kolonial. Tantangan juga menghajar mereka ketika kondisi perekonomian terjun bebas di masa Indonesia baru merdeka. Munculnya sikap sinis dan skeptis tak terhindarkan lagi. Namun, di saat itulah masyarakat berpikir untuk bangkit, kembali menata diri dan hidup, termasuk dalam hal kesenian. Tebersit harapan untuk menghidupkan kembali penerbitan roman. Para pengarang roman mendapat pengakuan internasional dan menjadi idola banyak pembaca. Grafik penjualan pun naik karena pemasarannya sampai ke Malaya, Singapura, hingga Arab Saudi. Buku ini berusaha membentangkan perjalanan roman Medan dan menyajikan kembali imbasnya terhadap perkembangan sastra di Tanah Air. Perjalanannya menunjukkan bahwa kisah roman Medan adalah bagian masa lalu yang penting dalam perjalanan kesusastraan Indonesia.



Sastra Rempah


Sastra Rempah
DOWNLOAD

Author : Aprinus Salam, dkk.
language : id
Publisher: PT Kanisius
Release Date :

Sastra Rempah written by Aprinus Salam, dkk. and has been published by PT Kanisius this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on with Language Arts & Disciplines categories.


Buku berisi 44 artikel yang ditulis kalangan akademisi yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Artikel-artikel dalam buku ini merupakan kajian sastra yang menjadikan rempah sebagai ‘kunci wasiat’ untuk membuka, menggali, dan mengkaji peradaban Nusantara sejak dahulu hingga kini. Secara umum artikel-artikel tersebut menghimpun beragam fenomena yang berkaitan dengan rempah yang layak dikembangkan dan dimanfaatkan untuk beragam keperluan, seperti kuliner, kesehatan, pengobatan, dan kecantikan. Berikut ini bab-bab yang terdapat dalam buku. - Rempah dalam Sastra Modern - Rempah dalam Tradisi Lisan - Rempah dalam Mitos, Manuskrip, dan Budaya Populer - Rempah dalam Sastra Perjalanan



Catatan Pinggir 14


Catatan Pinggir 14
DOWNLOAD

Author : Goenawan Mohamad
language : id
Publisher: Tempo Publishing
Release Date : 2021-01-01

Catatan Pinggir 14 written by Goenawan Mohamad and has been published by Tempo Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2021-01-01 with Literary Criticism categories.


Kumpulan tulisan Goenawan Mohamad di majalah Tempo, periode Januari 2019 sampai Desember 2020



Postkolonialisme Indonesia


Postkolonialisme Indonesia
DOWNLOAD

Author : Nyoman Kutha Ratna
language : id
Publisher:
Release Date : 2008

Postkolonialisme Indonesia written by Nyoman Kutha Ratna and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2008 with Indonesian literature categories.


Postcolonialism in Indonesian literatures.



Poskolonial Ambivalensi


Poskolonial Ambivalensi
DOWNLOAD

Author : Muharsyam Dwi Anantama, Munaris, Iqbal Hilal
language : id
Publisher: Selat Media
Release Date : 2023-03-15

Poskolonial Ambivalensi written by Muharsyam Dwi Anantama, Munaris, Iqbal Hilal and has been published by Selat Media this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2023-03-15 with Literary Criticism categories.


Poskolonialisme adalah sebuah perspektif yang muncul setelah era penjajahan berakhir di berbagai negara di dunia. Perspektif ini menyoroti hubungan kuasa antara negara-negara yang pernah menjajah dengan negara-negara yang pernah dijajah dan mengupas dampak-dampak dari penjajahan tersebut. Salah satu konsep yang seringkali muncul dalam kajian poskolonial adalah ambivalensi. Ambivalensi adalah konsep yang mengacu pada perasaan atau sikap yang berlawanan atau bertentangan dalam satu waktu atau situasi tertentu. Konsep ini seringkali muncul dalam kajian poskolonial karena hubungan antara negara-negara penjajah dan negara-negara yang pernah dijajah seringkali memunculkan perasaan ambivalen. Pada satu sisi, negara yang pernah dijajah merasa marah, sakit hati, dan trauma akibat pengalaman buruk yang mereka alami selama masa penjajahan. Namun, di sisi lain, mereka juga merasa terikat dengan budaya dan bahasa penjajah, dan seringkali mengadopsi nilai-nilai dan norma-norma Barat yang pernah mereka pelajari selama masa penjajahan. Ambivalensi juga muncul pada negara-negara penjajah. Meskipun mereka merasa bangga dengan kemajuan dan kekuatan yang mereka capai selama masa penjajahan, mereka juga merasa bersalah karena telah menguasai dan menindas orang-orang yang lemah dan tidak berdaya. Ambivalensi juga dapat dilihat dalam pengaruh budaya Barat di negara-negara yang pernah dijajah. Di satu sisi, budaya Barat membawa teknologi dan nilai-nilai modern yang membawa kemajuan bagi masyarakat yang pernah dijajah. Namun, di sisi lain, pengaruh budaya Barat juga memicu hilangnya nilai-nilai tradisional dan merusak identitas budaya asli dari masyarakat yang pernah dijajah. Dalam kesimpulannya, ambivalensi adalah konsep penting dalam kajian poskolonial. Konsep ini menyoroti perasaan yang berlawanan yang muncul dalam hubungan antara negara-negara penjajah dan negara-negara yang pernah dijajah. Melalui pemahaman dan pengenalan konsep ini, kita dapat lebih memahami dan mengapresiasi perbedaan budaya dan nilai yang ada di dunia ini, serta memperkuat hubungan antara negara-negara yang pernah dijajah dengan negara-negara penjajah.



Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas


Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
DOWNLOAD

Author : Katrin Bandel
language : id
Publisher: Indie Book Corner
Release Date : 2013-10-07

Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas written by Katrin Bandel and has been published by Indie Book Corner this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2013-10-07 with Criticism categories.


Pengantar Katrin Bandel Bagi saya, salah satu unsur terpenting dalam penulisan esei adalah memposisikan diri. Memposisikan diri bisa dimaknai sebagai “berpendapat”, dalam arti mengekspresikan pandangan atau penilaian mengenai permasalahan tertentu. Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam jangka waktu tujuh tahun yang terdokumentasikan dalam kumpulan esei ini, usaha memposisikan diri juga semakin sering dan semakin eksplisit saya kaitkan dengan peta relasi kekuasaan global dan posisi saya sendiri di dalamnya. Sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa yang menulis dalam bahasa Indonesia, di manakah saya berdiri? Ada persoalan apa dengan identitas saya sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa, dan apa kaitannya dengan kegiatan tulis-menulis yang saya geluti? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin berangkat dari sebuah anekdot yang diceritakan pemikir pascakolonial asal India Gayatri Chakravorty Spivak dalam sebuah dialog seputar masalah representasi: I will have in an undergraduate class, let’s say, a young, white male student, politically-correct, who will say: ‘I am only a bourgeois white male, I can’t speak.’ In that situation—it’s peculiar, because I am in the position of power and their teacher and, on the other hand, I am not a bourgeois white male—I say to them: ‘Why not develop a certain degree of rage against the history that has written such an abject script for you that you are silenced?’ (Gayatri Chakravorty Spivak 1993, hlm. 197) (Misalnya, dalam sebuah kelas untuk matakuliah S1 yang saya ampu akan ada seorang mahasiswa laki-laki muda berkulit putih yang, karena ingin bersikap politically-correct, akan berkata: ‘Saya hanya laki-laki borjuis kulit putih, saya tidak bisa bicara.’ Dalam situasi tersebut—dan situasi itu memang unik, sebab saya dalam posisi berkuasa sebagai dosen mereka, tapi di sisi lain, saya bukan laki-laki borjuis berkulit putih—saya akan kemudian berkata pada mereka: ‘Kenapa Anda tidak mencoba untuk, sampai tingkat tertentu, menumbuhkan kemurkaan dalam diri Anda terhadap sejarah yang telah menuliskan naskah yang begitu keji bagi Anda, sehingga kini Anda tidak dapat bicara?’) Mengapa mahasiswa laki-laki borjuis berkulit putih itu merasa “tidak bisa bicara”? Mahasiswa tersebut tampaknya berangkat dari kesadaran bahwa identitasnya cenderung menempatkannya pada posisi yang sangat diuntungkan. Untuk masa yang cukup lama, justru umumnya hanya laki-laki borjuis berkulit putih yang bisa dan berhak bicara, dalam arti diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangannya secara publik dan dengan demikian berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan (baik secara nasional/lokal maupun global). Manusia lain— perempuan, kelas buruh, orang berkulit coklat atau hitam—umumnya hanya dibicarakan, namun tidak diberi kesempatan untuk ikut bersuara. Political correctness yang disebut dalam anekdot di atas berdasar pada kesadaran akan ketidakadilan kondisi tersebut. Meskipun sampai saat ini tetap saja terdapat cukup banyak laki-laki borjuis berkulit putih yang berbicara dengan suara otoritatif seperti sediakala, di bidang-bidang akademis tertentu kini situasi telah berubah secara cukup substansial. Suara-suara lain kini ikut hadir, tidak jarang untuk menyampaikan gugatannya, antara lain lewat perspektif teoritis yang dikembangkan misalnya dalam Kajian Pascakolonial, Kajian Gender dan Kajian Budaya. Berangkat dari kesadaran akan perkembangan tersebut, di manakah kini posisi seorang laki-laki borjuis berkulit putih? Selain posisi otoritatif yang cenderung meniadakan perspektif lain, masih adakah pilihan lain yang tersedia? Tampaknya mahasiswa dalam anekdot Spivak di atas tidak melihat adanya alternatif apa pun, sehingga dia merasa satu-satunya pilihan adalah diam. Saya memang bukan laki-laki. Tapi sebagai orang Eropa berkulit putih yang berasal dari kelas menengah, saya tetap merasa tersapa oleh anekdot yang diceritakan Spivak. Sesuai dengan yang dikatakan Spivak, tidak jarang saya merasa ada semacam script (naskah) yang sudah disediakan untuk saya, dan script tersebut memang kurang mengenakkan. Apabila saya setia pada bidang studi yang saya pilih semasa kuliah (di dunia Barat), saya “seharusnya” menjadi indonesianis yang berperan menjelaskan kebudayaan Indonesia kepada orang sebangsa saya, atau kepada “komunitas akademis internasional” (alias komunitas akademis berbahasa Inggris). Dengan kata lain, saya seharusnya menduduki posisi otoritatif sebagai “ahli Indonesia” yang diberi wewenang khusus untuk berbicara mengenai Indonesia dalam forum-forum tertentu, dengan catatan bahwa sampai saat ini orang Indonesia sendiri kerapkali kurang memiliki akses untuk ikut bersuara dalam forum tersebut. Dari manakah datangnya script tersebut? Dalam karya monumentalnya Orientalism (1978) yang kerapkali disebut sebagai tonggak awal Kajian Pascakolonial, Edward Said mendeskripsikan betapa dalam tradisi pemikiran Barat tumbuh sebuah wacana khusus mengenai “Orient” (“Timur”), yaitu wacana “orientalisme”. “Timur” dipelajari sebagai sebuah entitas yang konon memiliki ciri khas sendiri, sehingga berbeda secara substansial dari “Barat”. Lewat wacana itu hadirlah sebuah suara otoritatif yang mendefinisikan dan menguasai “Timur”. Otoritas suara di sini secara langsung berkaitan dengan kekuasaan sebab wacana orientalisme berkembang bersamaan dengan kolonialisme. Pengetahuan tentang “Timur” dan penjajahan fisik saling menopang. Di dunia akademis, orientalisme antara lain mengambil bentuk institusi-institusi khusus yang melakukan atau mendukung studi mengenai “budaya oriental”. Struktur semacam itu kerapkali masih berbekas sampai saat ini, meskipun orientasi keilmuannya tentu saja sudah mengalami banyak perubahan. Misalnya, saat saya kuliah di Universitas Hamburg, Jerman, fakultas tempat saya mempelajari budaya Indonesia masih bernama “Orientalistik”. Jurusan yang saya ambil, yaitu jurusan “Bahasa dan Budaya Austronesia” (di mana bahasa Indonesia dipelajari sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia), merupakan salah satu jurusan tertua di universitas itu sebab jurusan itu berawal sebagai sebuah “institut kolonial”. Jerman memang sempat memiliki beberapa koloni di wilayah tersebut, yaitu di kepulauan Pasifik dan di Papua. Struktur-struktur semacam itu ikut melanggengkan relasi kekuasaan global yang timpang. Universitas di negara-negara Barat mempelajari budaya-budaya di seluruh dunia, kemudian pengetahuan tersebut dipublikasikan dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya di media-media akademis yang dipandang bergengsi dan terpercaya. Manusia-manusia yang budayanya dipelajari tersebut kerapkali melakukan hal sebaliknya, yaitu mempelajari bahasa dan budaya Barat, namun bukan dalam rangka memperoleh suara otoritatif seperti manusia Barat yang membicarakan “Timur”. Akses terhadap dunia Barat dirasakan perlu sebab pada kenyataan memang pengetahuan dan gaya hidup Barat tetap (atau bahkan semakin?) dominan secara global. Bahkan tidak jarang budaya sendiri kemudian dipelajari lewat pengetahuan Barat, misalnya lewat tulisan peneliti asing (orientalis). Sebagai manusia Eropa berpendidikan orientalis, saya tidak mungkin mengelak dari wacana tersebut. Namun meskipun secara institusional struktur-struktur orientalis yang hierarkis itu tetap dipertahankan, manusia-manusia yang bekerja dalam struktur tersebut belum tentu sepenuhnya patuh padanya. Misalnya, sebagian peneliti Barat yang bekerja di bidang “Studi Asia-Afrika” (untuk menyebut salah satu istilah yang telah menggantikan istilah “orientalisme” pada masa kini, termasuk di almamater saya Universitas Hamburg) kini bersikap kritis terhadap struktur-struktur tersebut, dan mengekspresikan kritik itu dalam tulisan-tulisan mereka. Di samping itu, usaha untuk lebih melibatkan suara-suara non-Barat dalam produksi pengetahuan tersebut pun banyak dilakukan. Dalam pengalaman pribadi saya, struktur yang timpang tersebut pada mulanya hanya saya rasakan secara samar-samar saja. Saat kuliah, saya tidak memiliki kesadaran politis yang cukup kuat, dan saya pun tidak pernah berkesempatan mempelajari teori pascakolonial atau teori-teori lain yang dapat membantu saya untuk sampai pada sebuah semangat yang lebih kritis dalam memandang dunia. Yang saya alami pada tahap itu hanya semacam perasaan kurang nyaman dan kurang termotivasi untuk memasuki dunia akademis di mana saya diharapkan memproduksi tulisan-tulisan berbahasa Jerman atau Inggris mengenai Indonesia. Untuk siapakah saya menulis, dan apa yang ingin dan perlu saya sampaikan? Pekerjaan tersebut terasa hambar dan kurang mengasyikkan. Perjalanan hidup kemudian membawa saya menetap dan bekerja di Indonesia. Disebabkan oleh kondisi hidup tersebut, saya lalu mulai aktif menulis dan berpublikasi bukan dalam bahasa Jerman atau Inggris, tapi dalam bahasa Indonesia. Hal itu pada mulanya saya lakukan sama sekali bukan disebabkan oleh sebuah semangat “heroik” untuk melawan struktur kekuasaan wacana akademis, namun sekadar mengikuti naluri dan keasyikan berkarya. Dengan menulis di Indonesia dalam bahasa Indonesia, saya merasa menyapa audiens yang jelas (yaitu orang-orang yang menaruh minat pada sastra Indonesia), dan lewat respon dan apresiasi yang saya peroleh saya pun merasakan betapa kontribusi tersebut memberi manfaat yang nyata bagi pembaca saya. Maka kemudian fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia pun berlanjut. Dalam perkembangannya, kadang-kadang terbersit niat untuk menulis dalam bahasa Inggris atau Jerman, dilandasi semacam rasa keharusan dan kecemasan. Pada awalnya saya tidak merefleksikannya lebih jauh, tapi saya sekadar secara samar-samar merasa bahwa ada yang aneh atau keliru pada perjalanan penulisan dan karir akademis saya. Sepertinya saya sedang “salah jalur”: bukan inilah pekerjaan yang “seharusnya” saya lakukan sebagai indonesianis! Namun karena permintaan untuk menyumbang tulisan dalam bahasa Indonesia atau menjadi pembicara dalam acara-acara berbahasa Indonesia terus-menerus berdatangan, dan berbagai perdebatan dan perkembangan di dunia sastra Indonesia terus memancing saya untuk ikut bersuara, rencana untuk menulis dalam bahasa Jerman atau Inggris itu sangat jarang terwujud. Saya tetap asyik menulis dalam bahasa Indonesia. Seiring dengan waktu, fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia semakin saya mantapkan sebagai pilihan yang memberi saya kesempatan untuk menduduki posisi yang sedikit unik. Peta relasi kekuasaan global yang saya gambarkan di atas semakin tampak bagi saya. Dengan demikian, perjalanan karir yang “salah jalur” itu pun berubah makna, yaitu menjadi keistimewaan yang saya syukuri. Tanpa pernah merencanakannya dengan sadar, saya rupanya sudah menyimpang dari script yang disediakan bagi saya. Meskipun tentu saja saya tetap tidak dapat sepenuhnya mengelak dari wacana orientalisme, paling tidak secara institusional saya kini berada pada jalur yang agak berbeda. Kumpulan esei ini mendokumentasikan perjalanan penulisan saya selama tujuh tahun terakhir, yaitu masa yang membawa saya kepada kesadaran semakin kritis akan relasi kekuasaan global yang membentuk dunia intelektual tempat saya berkarya. Dalam anekdot yang saya kutip di atas, Spivak menganjurkan sebuah “kemurkaan” atas “script keji” yang disediakan bagi kami, manusia keturunan penjajah yang mesti berhadapan dengan berbagai bentuk ketidakadilan yang disebabkan oleh ulah bangsa-bangsa kami. Kemurkaan semacam itu yang coba semakin eksplisit saya kembangkan dan saya ekspresikan dalam esei-esei saya.