[PDF] Komunitas Sastra Indonesia - eBooks Review

Komunitas Sastra Indonesia


Komunitas Sastra Indonesia
DOWNLOAD

Download Komunitas Sastra Indonesia PDF/ePub or read online books in Mobi eBooks. Click Download or Read Online button to get Komunitas Sastra Indonesia book now. This website allows unlimited access to, at the time of writing, more than 1.5 million titles, including hundreds of thousands of titles in various foreign languages. If the content not found or just blank you must refresh this page





Komunitas Sastra Indonesia


Komunitas Sastra Indonesia
DOWNLOAD

Author :
language : id
Publisher:
Release Date : 2008

Komunitas Sastra Indonesia written by and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2008 with Indonesian literature categories.


On Komunitas Sastra Indonesia, Indonesian Literary Community.



Komunitas Sastra Di Indonesia


Komunitas Sastra Di Indonesia
DOWNLOAD

Author : Iwan Gunadi
language : id
Publisher:
Release Date : 2012

Komunitas Sastra Di Indonesia written by Iwan Gunadi and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2012 with Indonesian literature categories.


History of literary communities in Indonesia.



Perencanaan Bahasa Dan Sastra Indonesia


Perencanaan Bahasa Dan Sastra Indonesia
DOWNLOAD

Author : Anas Ahmadi
language : id
Publisher: Penerbit Graniti
Release Date : 2020-01-01

Perencanaan Bahasa Dan Sastra Indonesia written by Anas Ahmadi and has been published by Penerbit Graniti this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2020-01-01 with Language Arts & Disciplines categories.


Studi mengenai perencanaan bahasa dan sastra Indonesia, baik perspektif teoretis, metodologis, dan praktis. Studi perencanaan bahasa dan sastra Indonesia urgen dilakukan dalam rangka pemertahanan dan pelesatarian bahasa dan sastra Indonesia. Buku ini cocok untuk mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang memprogram matakuliah penelitian perencanaan bahasa dan sastra Indonesia. Selain itu, buku ini juga bisa digunakan oleh khalayak pecinta bahasa dan sastra Indonesia.



Sastrawan Indonesia Di Jawa Timur Pemetaan Psikogi Indigenous Dan Respons Pembaca


Sastrawan Indonesia Di Jawa Timur Pemetaan Psikogi Indigenous Dan Respons Pembaca
DOWNLOAD

Author : Anas Ahmadi
language : id
Publisher: Penerbit Graniti
Release Date : 2023-01-01

Sastrawan Indonesia Di Jawa Timur Pemetaan Psikogi Indigenous Dan Respons Pembaca written by Anas Ahmadi and has been published by Penerbit Graniti this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2023-01-01 with Biography & Autobiography categories.


Buku ini merupakan buku sastra yang berkait dengan dua hal. Pertama, berisikan pemetaan dan perkembangan sastra/sastrawan Indonesia di Jawa Timur. Kedua, studi sastra Indonesia di Jawa Timur yang dikaitkan konteks indigenous studies.



33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh


33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
DOWNLOAD

Author : Jamal D. Rahman
language : id
Publisher: Kepustakaan Populer Gramedia
Release Date : 2013-12-23

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh written by Jamal D. Rahman and has been published by Kepustakaan Populer Gramedia this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2013-12-23 with Biography & Autobiography categories.


Peranan sastra, sastrawan, dan tokoh sastra dalam kehidupan kadang dipertanyakan, terutama saat negara sibuk dengan pembangunan ekonomi. Para penguasa sering merasa terganggu oleh sastrawan karena sering bersikap kritis pada pemerintah, politikus, dan pejabat korup. Apa peranan sastra bagi Indonesia? Siapakah tokoh-tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh dalam satu abad perjalanan sastra Indonesia? Dalam hal apa dan di kalangan mana mereka berpengaruh? Dan sejauh mana jangkauan pengaruh mereka, baik secara sosial, politik, maupun budaya? Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh ini menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekaligus menunjukkan kalangan mana saja yang berperan dalam sastra dan kebudayaan. Buku ini menawarkan menu baru bagi perbincangan tentang tokoh-tokoh bangsa dari wilayah yang tidak selalu populer tapi menentukan tegak-tidaknya martabat suatu bangsa, yakni tradisi tulis dan kebudayaannya.



Pengantar Sejarah Sastra Indonesia


Pengantar Sejarah Sastra Indonesia
DOWNLOAD

Author : Yudiono K. S.
language : id
Publisher: Grasindo
Release Date : 2010

Pengantar Sejarah Sastra Indonesia written by Yudiono K. S. and has been published by Grasindo this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2010 with Indonesian literature categories.


History of Indonesian literature of the 20th century.



Djoernal Sastra


Djoernal Sastra
DOWNLOAD

Author : Saut Situmorang, dkk
language : id
Publisher: Indie Book Corner
Release Date : 2012-11-01

Djoernal Sastra written by Saut Situmorang, dkk and has been published by Indie Book Corner this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2012-11-01 with Criticism categories.


5 Tahun boemipoetra, Pena Dilesatkan djoernal sastra boemipoetra, merupakan salah satu dari sekian djoernal sastra yang terbit di Indonesia. Kemunculannya diragukan banyak orang. Terutama dengan daya tahan hidup. Kuat berapa bulankah jurnal yang cuma dibiayai semangat dan senantiasa urunan/patungan para redakturnya itu. Di era kapitalistik seperti sekarang ini, keraguan tersebut sangatlah pantas. Ketika lebih banyak orang yang berlomba mengumpulkan harta, ternyata masih ada yang peduli menyisihkan harta untuk sastra. Untuk apa? Tentu untuk membangun kesusastraan yang lebih bermartabat. Mainstream kesusastraan bukanlah satu warna. Bukan melulu satu kanal. Yang lebih sering didiktekan para redaktur media. Bagaimana pun urusan estetika adalah soal subjektifitas. Setiap indinvidu mempunyai gaya. Seperti pelukis yang dibedakan coretan tangannya. Sastra tak melulu keindahan seni bahasa. Namun mesti mengarah pada seni pembangunan moral. Harga tersebut tak bisa ditawar. boemipoetra lahir untuk menjadi mitra diskusi. Menjadi lorong baru, di antara sekian lorong yang telah terbangun. Caranya mungkin yang berbeda. Agak menyentak. Namun tetap mengedepankan fakta-fakta yang selama ini ditilap dari ruang publik. Itulah yang menjadi ciri khas boemipoetra. Bicara tanpa tedeng aling-aling. Beberapa pihak menyatakan telah terjadi ‘kekerasan kebudayaan’. Padahal sesungguhnya personal-personal boemipoetra(lah) yang terkena ‘kekerasan kebudayaan’, terlempar dari ruang-ruang budaya di media. Tersingkir dari festival-festival satu warna. Tak apa, perjuangan memang butuh pengorbanan. Tak adanya dana asing yang masuk pada boemipoetra membuktikan bahwa djoernal ini benar-benar mandiri. Boekan Milik Antek Imperialis. Tidak terdikte. Benar-benar membela kepentingan kaum boemipoetra. Kaum yang sering dilecehkan oleh bangsanya sendiri yang tega menjual harga diri untuk kepentingan asing. Mesti diingat, 350 tahun negeri ini dijajah Belanda. Setiap penjajah senantiasa membutuhkan kekuatan militer. Dan lebih dari 80% tentara Belanda adalah orang-orang pribumi yang gampang diperalat dengan gulden. Sampai sekarang orang pribumi yang gampang diperalat itu tetap ada. Memang tidak banyak, namun kekuatan legitimasi asing yang melekat pada dirinya, sanggup mendominasi setiap ruang. Mematahkan perlawanan kaum pribumi tulen. Sesungguhnya, mereka yang buruk tak lebih dari 20%. Sayangnya merekalah yang cenderung mendapat kepercayaan. Sehingga 80% yang baik seperti hilang ditelan awan. Dengan kesadaran bahwa kesusastraan adalah keberagaman, boemipoetra menggelinding deras. Tak peduli, diperkirakan umurnya cuma beberapa bulan. Di dalamnya ada yang Nasionalis, Marxis, Islam Tradisional, Islam Garis Keras. Ada bakul gudeg, wartawan, teaterawan, buruh, fesbooker, pegawai negeri. Ada yang di Jakarta, Yogya, Tangerang, Banten, Kudus, Ngawi. Sangat plural. Namun tetap menjunjung semangat yang sama. Tetap bisa berdiskusi untuk memutuskan kesepakatan yang dijadikan pedoman bersastra. Dan, ketika boemipoetra telah mencapai umur 5 tahun, ada baiknya djoernal-djoernal boemipoetra yang bertebaran dijadikan buku. Sebagai pelajaran bagi kesusastraan kita bahwa di mana tumbuh rezim sastra, disitu akan lahir pejuang-pejuang yang menentangnya. Dan setiap pejuang tak pernah berpikir jadi pahlawan atau pecundang. Yang penting bendera mesti diangkat tinggi-tinggi. Pena dilesatkan. Redaksi



Sejarah Sastra Indonesia


Sejarah Sastra Indonesia
DOWNLOAD

Author : Dr. M. Shoim Anwar, M.Pd.
language : id
Publisher: bisakimia
Release Date :

Sejarah Sastra Indonesia written by Dr. M. Shoim Anwar, M.Pd. and has been published by bisakimia this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on with categories.


Penyusunan buku tentang sejarah sastra Indonesia mungkin tidak pernah lengkap karena terkait dengan keterbatasan informasi. Sejarah juga merupakan hal yang subjektif karena sudut pandang yang dipakai dapat berbeda-beda. Berbagai masalah politik, juga ideologi, kerap kali sangat berpengaruh dalam penyusunan sejarah sastra. Dunia sastra tidak hadir dengan karya sastranya saja, melainkan dengan segenap aktivitas sastrawannya dalam kehidupan bernegara. Dalam masyarakat yang terbuka, ketika informasi merupakan hak publik, penyusunan sejarah sastra diharapkan mampu memberi informasi yang memadai terhadap berbagai aktivitas kesastraan yang telah terjadi. Zaman terus berkembang. Informasi tentang dunia sastra Indonesia semakin meluas dan kompleks. Buku-buku sejarah sastra yang telah ada tentu tidak mampu menjangkau wilayah waktu yang ada di depannya. Pembahasan tentang perkembangan sastra Indonesia dalam buku-buku yang telah menjadi klasik umumnya berhenti hingga Angkatan 66. Masih sangat terbatas pembahasan sejarah sastra Indonesia yang menjangkau ke Angkatan 2000 hingga tahun-tahun terakhir saat buku tersebut disusun. Kehadiran buku dalam ranah sejarah sastra Indonesia ini semoga dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan di atas. Tentu saja dalam buku ini masih banyak informasi yang belum terekam. Diharapkan ada saran dan kritik agar buku ini di masa-masa mendatang dapat terbit dengan lebih lengkap.



Tionghoa Merajut Keindonesiaan Persembahan 80 Tahun Leo Suryadinata


Tionghoa Merajut Keindonesiaan Persembahan 80 Tahun Leo Suryadinata
DOWNLOAD

Author : Aan Anshori
language : id
Publisher: Penerbit Universitas Ciputra
Release Date : 2022-02-15

Tionghoa Merajut Keindonesiaan Persembahan 80 Tahun Leo Suryadinata written by Aan Anshori and has been published by Penerbit Universitas Ciputra this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2022-02-15 with Biography & Autobiography categories.


Siapapun yang meneliti etnik Tionghoa Indonesia, dipastikan pernah membaca karya-karya Leo Suryadinata, setidaknya mengenal namanya. Dengan publikasinya dalam berbagai bahasa, pria kelahiran Jakarta ini telah memberikan pengetahuan mengenai etnik Tionghoa dalam berbagai aspeknya. Terlebih di masa Orde Baru, tulisan Leo berkontribusi memberikan perspektif yang berbeda dari versi penguasa. Pada 2021, peneliti senior ISEAS Singapura ini merayakan ulang tahunnya ke-80. Keluarga besar NGGOTIO (Nggosipin Tionghoa, Yuk!) tidak mau melewatkan momen istimewa ini. Hasilnya adalah festschrift yang berisi persembahan dari 12 penulis sebagai bukti penghormatan untuk Leo Suryadinata.



Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas


Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
DOWNLOAD

Author : Katrin Bandel
language : id
Publisher: Indie Book Corner
Release Date : 2013-10-07

Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas written by Katrin Bandel and has been published by Indie Book Corner this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2013-10-07 with Criticism categories.


Pengantar Katrin Bandel Bagi saya, salah satu unsur terpenting dalam penulisan esei adalah memposisikan diri. Memposisikan diri bisa dimaknai sebagai “berpendapat”, dalam arti mengekspresikan pandangan atau penilaian mengenai permasalahan tertentu. Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam jangka waktu tujuh tahun yang terdokumentasikan dalam kumpulan esei ini, usaha memposisikan diri juga semakin sering dan semakin eksplisit saya kaitkan dengan peta relasi kekuasaan global dan posisi saya sendiri di dalamnya. Sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa yang menulis dalam bahasa Indonesia, di manakah saya berdiri? Ada persoalan apa dengan identitas saya sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa, dan apa kaitannya dengan kegiatan tulis-menulis yang saya geluti? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin berangkat dari sebuah anekdot yang diceritakan pemikir pascakolonial asal India Gayatri Chakravorty Spivak dalam sebuah dialog seputar masalah representasi: I will have in an undergraduate class, let’s say, a young, white male student, politically-correct, who will say: ‘I am only a bourgeois white male, I can’t speak.’ In that situation—it’s peculiar, because I am in the position of power and their teacher and, on the other hand, I am not a bourgeois white male—I say to them: ‘Why not develop a certain degree of rage against the history that has written such an abject script for you that you are silenced?’ (Gayatri Chakravorty Spivak 1993, hlm. 197) (Misalnya, dalam sebuah kelas untuk matakuliah S1 yang saya ampu akan ada seorang mahasiswa laki-laki muda berkulit putih yang, karena ingin bersikap politically-correct, akan berkata: ‘Saya hanya laki-laki borjuis kulit putih, saya tidak bisa bicara.’ Dalam situasi tersebut—dan situasi itu memang unik, sebab saya dalam posisi berkuasa sebagai dosen mereka, tapi di sisi lain, saya bukan laki-laki borjuis berkulit putih—saya akan kemudian berkata pada mereka: ‘Kenapa Anda tidak mencoba untuk, sampai tingkat tertentu, menumbuhkan kemurkaan dalam diri Anda terhadap sejarah yang telah menuliskan naskah yang begitu keji bagi Anda, sehingga kini Anda tidak dapat bicara?’) Mengapa mahasiswa laki-laki borjuis berkulit putih itu merasa “tidak bisa bicara”? Mahasiswa tersebut tampaknya berangkat dari kesadaran bahwa identitasnya cenderung menempatkannya pada posisi yang sangat diuntungkan. Untuk masa yang cukup lama, justru umumnya hanya laki-laki borjuis berkulit putih yang bisa dan berhak bicara, dalam arti diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangannya secara publik dan dengan demikian berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan (baik secara nasional/lokal maupun global). Manusia lain— perempuan, kelas buruh, orang berkulit coklat atau hitam—umumnya hanya dibicarakan, namun tidak diberi kesempatan untuk ikut bersuara. Political correctness yang disebut dalam anekdot di atas berdasar pada kesadaran akan ketidakadilan kondisi tersebut. Meskipun sampai saat ini tetap saja terdapat cukup banyak laki-laki borjuis berkulit putih yang berbicara dengan suara otoritatif seperti sediakala, di bidang-bidang akademis tertentu kini situasi telah berubah secara cukup substansial. Suara-suara lain kini ikut hadir, tidak jarang untuk menyampaikan gugatannya, antara lain lewat perspektif teoritis yang dikembangkan misalnya dalam Kajian Pascakolonial, Kajian Gender dan Kajian Budaya. Berangkat dari kesadaran akan perkembangan tersebut, di manakah kini posisi seorang laki-laki borjuis berkulit putih? Selain posisi otoritatif yang cenderung meniadakan perspektif lain, masih adakah pilihan lain yang tersedia? Tampaknya mahasiswa dalam anekdot Spivak di atas tidak melihat adanya alternatif apa pun, sehingga dia merasa satu-satunya pilihan adalah diam. Saya memang bukan laki-laki. Tapi sebagai orang Eropa berkulit putih yang berasal dari kelas menengah, saya tetap merasa tersapa oleh anekdot yang diceritakan Spivak. Sesuai dengan yang dikatakan Spivak, tidak jarang saya merasa ada semacam script (naskah) yang sudah disediakan untuk saya, dan script tersebut memang kurang mengenakkan. Apabila saya setia pada bidang studi yang saya pilih semasa kuliah (di dunia Barat), saya “seharusnya” menjadi indonesianis yang berperan menjelaskan kebudayaan Indonesia kepada orang sebangsa saya, atau kepada “komunitas akademis internasional” (alias komunitas akademis berbahasa Inggris). Dengan kata lain, saya seharusnya menduduki posisi otoritatif sebagai “ahli Indonesia” yang diberi wewenang khusus untuk berbicara mengenai Indonesia dalam forum-forum tertentu, dengan catatan bahwa sampai saat ini orang Indonesia sendiri kerapkali kurang memiliki akses untuk ikut bersuara dalam forum tersebut. Dari manakah datangnya script tersebut? Dalam karya monumentalnya Orientalism (1978) yang kerapkali disebut sebagai tonggak awal Kajian Pascakolonial, Edward Said mendeskripsikan betapa dalam tradisi pemikiran Barat tumbuh sebuah wacana khusus mengenai “Orient” (“Timur”), yaitu wacana “orientalisme”. “Timur” dipelajari sebagai sebuah entitas yang konon memiliki ciri khas sendiri, sehingga berbeda secara substansial dari “Barat”. Lewat wacana itu hadirlah sebuah suara otoritatif yang mendefinisikan dan menguasai “Timur”. Otoritas suara di sini secara langsung berkaitan dengan kekuasaan sebab wacana orientalisme berkembang bersamaan dengan kolonialisme. Pengetahuan tentang “Timur” dan penjajahan fisik saling menopang. Di dunia akademis, orientalisme antara lain mengambil bentuk institusi-institusi khusus yang melakukan atau mendukung studi mengenai “budaya oriental”. Struktur semacam itu kerapkali masih berbekas sampai saat ini, meskipun orientasi keilmuannya tentu saja sudah mengalami banyak perubahan. Misalnya, saat saya kuliah di Universitas Hamburg, Jerman, fakultas tempat saya mempelajari budaya Indonesia masih bernama “Orientalistik”. Jurusan yang saya ambil, yaitu jurusan “Bahasa dan Budaya Austronesia” (di mana bahasa Indonesia dipelajari sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia), merupakan salah satu jurusan tertua di universitas itu sebab jurusan itu berawal sebagai sebuah “institut kolonial”. Jerman memang sempat memiliki beberapa koloni di wilayah tersebut, yaitu di kepulauan Pasifik dan di Papua. Struktur-struktur semacam itu ikut melanggengkan relasi kekuasaan global yang timpang. Universitas di negara-negara Barat mempelajari budaya-budaya di seluruh dunia, kemudian pengetahuan tersebut dipublikasikan dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya di media-media akademis yang dipandang bergengsi dan terpercaya. Manusia-manusia yang budayanya dipelajari tersebut kerapkali melakukan hal sebaliknya, yaitu mempelajari bahasa dan budaya Barat, namun bukan dalam rangka memperoleh suara otoritatif seperti manusia Barat yang membicarakan “Timur”. Akses terhadap dunia Barat dirasakan perlu sebab pada kenyataan memang pengetahuan dan gaya hidup Barat tetap (atau bahkan semakin?) dominan secara global. Bahkan tidak jarang budaya sendiri kemudian dipelajari lewat pengetahuan Barat, misalnya lewat tulisan peneliti asing (orientalis). Sebagai manusia Eropa berpendidikan orientalis, saya tidak mungkin mengelak dari wacana tersebut. Namun meskipun secara institusional struktur-struktur orientalis yang hierarkis itu tetap dipertahankan, manusia-manusia yang bekerja dalam struktur tersebut belum tentu sepenuhnya patuh padanya. Misalnya, sebagian peneliti Barat yang bekerja di bidang “Studi Asia-Afrika” (untuk menyebut salah satu istilah yang telah menggantikan istilah “orientalisme” pada masa kini, termasuk di almamater saya Universitas Hamburg) kini bersikap kritis terhadap struktur-struktur tersebut, dan mengekspresikan kritik itu dalam tulisan-tulisan mereka. Di samping itu, usaha untuk lebih melibatkan suara-suara non-Barat dalam produksi pengetahuan tersebut pun banyak dilakukan. Dalam pengalaman pribadi saya, struktur yang timpang tersebut pada mulanya hanya saya rasakan secara samar-samar saja. Saat kuliah, saya tidak memiliki kesadaran politis yang cukup kuat, dan saya pun tidak pernah berkesempatan mempelajari teori pascakolonial atau teori-teori lain yang dapat membantu saya untuk sampai pada sebuah semangat yang lebih kritis dalam memandang dunia. Yang saya alami pada tahap itu hanya semacam perasaan kurang nyaman dan kurang termotivasi untuk memasuki dunia akademis di mana saya diharapkan memproduksi tulisan-tulisan berbahasa Jerman atau Inggris mengenai Indonesia. Untuk siapakah saya menulis, dan apa yang ingin dan perlu saya sampaikan? Pekerjaan tersebut terasa hambar dan kurang mengasyikkan. Perjalanan hidup kemudian membawa saya menetap dan bekerja di Indonesia. Disebabkan oleh kondisi hidup tersebut, saya lalu mulai aktif menulis dan berpublikasi bukan dalam bahasa Jerman atau Inggris, tapi dalam bahasa Indonesia. Hal itu pada mulanya saya lakukan sama sekali bukan disebabkan oleh sebuah semangat “heroik” untuk melawan struktur kekuasaan wacana akademis, namun sekadar mengikuti naluri dan keasyikan berkarya. Dengan menulis di Indonesia dalam bahasa Indonesia, saya merasa menyapa audiens yang jelas (yaitu orang-orang yang menaruh minat pada sastra Indonesia), dan lewat respon dan apresiasi yang saya peroleh saya pun merasakan betapa kontribusi tersebut memberi manfaat yang nyata bagi pembaca saya. Maka kemudian fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia pun berlanjut. Dalam perkembangannya, kadang-kadang terbersit niat untuk menulis dalam bahasa Inggris atau Jerman, dilandasi semacam rasa keharusan dan kecemasan. Pada awalnya saya tidak merefleksikannya lebih jauh, tapi saya sekadar secara samar-samar merasa bahwa ada yang aneh atau keliru pada perjalanan penulisan dan karir akademis saya. Sepertinya saya sedang “salah jalur”: bukan inilah pekerjaan yang “seharusnya” saya lakukan sebagai indonesianis! Namun karena permintaan untuk menyumbang tulisan dalam bahasa Indonesia atau menjadi pembicara dalam acara-acara berbahasa Indonesia terus-menerus berdatangan, dan berbagai perdebatan dan perkembangan di dunia sastra Indonesia terus memancing saya untuk ikut bersuara, rencana untuk menulis dalam bahasa Jerman atau Inggris itu sangat jarang terwujud. Saya tetap asyik menulis dalam bahasa Indonesia. Seiring dengan waktu, fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia semakin saya mantapkan sebagai pilihan yang memberi saya kesempatan untuk menduduki posisi yang sedikit unik. Peta relasi kekuasaan global yang saya gambarkan di atas semakin tampak bagi saya. Dengan demikian, perjalanan karir yang “salah jalur” itu pun berubah makna, yaitu menjadi keistimewaan yang saya syukuri. Tanpa pernah merencanakannya dengan sadar, saya rupanya sudah menyimpang dari script yang disediakan bagi saya. Meskipun tentu saja saya tetap tidak dapat sepenuhnya mengelak dari wacana orientalisme, paling tidak secara institusional saya kini berada pada jalur yang agak berbeda. Kumpulan esei ini mendokumentasikan perjalanan penulisan saya selama tujuh tahun terakhir, yaitu masa yang membawa saya kepada kesadaran semakin kritis akan relasi kekuasaan global yang membentuk dunia intelektual tempat saya berkarya. Dalam anekdot yang saya kutip di atas, Spivak menganjurkan sebuah “kemurkaan” atas “script keji” yang disediakan bagi kami, manusia keturunan penjajah yang mesti berhadapan dengan berbagai bentuk ketidakadilan yang disebabkan oleh ulah bangsa-bangsa kami. Kemurkaan semacam itu yang coba semakin eksplisit saya kembangkan dan saya ekspresikan dalam esei-esei saya.