[PDF] Dewa Cadas Pangeran - eBooks Review

Dewa Cadas Pangeran


Dewa Cadas Pangeran
DOWNLOAD

Download Dewa Cadas Pangeran PDF/ePub or read online books in Mobi eBooks. Click Download or Read Online button to get Dewa Cadas Pangeran book now. This website allows unlimited access to, at the time of writing, more than 1.5 million titles, including hundreds of thousands of titles in various foreign languages. If the content not found or just blank you must refresh this page





Dewa Cadas Pangeran


Dewa Cadas Pangeran
DOWNLOAD
Author : Zhaenal Fanani
language : id
Publisher: Pantera Publishing
Release Date : 2021-04-24

Dewa Cadas Pangeran written by Zhaenal Fanani and has been published by Pantera Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2021-04-24 with Fiction categories.


BATU putih di ujung tambang bergerak perlahan ke atas tanda kepala Dewa Cadas Pangeran mendongak. Saat kemudian terdengar ucapan. “Kalian telah mendapat jawaban dari apa yang kalian tanyakan…. Mudah-mudahan kalian tidak segan untuk juga jawab beberapa tanyaku!” “Aneh…. Dia telah tahu banyak apa yang tidak diketahui orang lain. Mengapa dia masih akan ajukan tanya?!” Diam-diam Ratu Selendang Asmara membatin. Lalu buka suara. “Kau telah menjawab pertanyaanku. Adalah kurang pantas kalau aku tidak bersedia memberi jawaban atas pertanyaanmu…!” “Terima kasih…,” ujar Dewa Cadas Pangeran. “Kalian menginginkan peta wasiat itu?!” “Siapa pun yang kau tanya begitu pasti akan anggukkan kepala!” jawab Ratu Selendang Asmara berterus terang. Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang. Lalu berucap. “Aku tidak akan halangi keinginan seseorang. Tapi demi kedamaian dan keselamatan, tidak ada salahnya bukan kalau aku memberi satu saran?” “Kau pasti akan mengatakan kami berdua tidak akan berhasil mendapatkan peta wasiat itu! Benar?!” Ratu Selendang Asmara tampaknya sudah dapat membaca apa yang akan dikatakan Dewa Cadas Pangeran. “Syukur kalau kau telah menangkap isyarat itu…. Sekali lagi mudah-mudahan kalian tidak berburuk sangka padaku kalau aku mengatakan kalian bukan saja tidak akan mendapatkan apa-apa, namun akan mengalami musibah jika teruskan keinginan!” Mendengar ucapan Dewa Cadas Pangeran, Ratu Selendang Asmara tersenyum. “Dewa Cadas Pangeran. Kuakui kau pandai memberi keterangan. Tapi jangan kau lupa! Nasib seseorang adalah sebuah misteri yang tidak bisa dibaca oleh siapa saja!” “Ucapanmu tidak salah. Dan harap kau tak keliru. Aku tidak membicarakan nasib seseorang. Aku hanya memberi saran. Dan kalaupun aku mengatakan kalian tidak akan mendapatkan apa-apa, aku menangkap adanya beberapa orang punya keinginan seperti kalian. Jika semua orang yang punya keinginan sama saling bertemu, kalian dapat bayangkan apa yang akan terjadi!” “Kita tak perlu pedulikan ucapannya!” Bayangan Tanpa Wajah berbisik pada Ratu Selendang Asmara. Si nenek anggukkan kepala lalu berkata. “Masih ada yang ingin kau utarakan lagi?” Dewa Cadas Pangeran tidak sambuti pertanyaan Ratu Selendang Asmara. Sebaliknya dia putar diri membelakangi orang. Kejap lain dia membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat beberapa tombak ke depan. Saat lain Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah hanya melihat gerakan batu putih yang bergoyang-goyang di atas ranggasan semak belukar yang sesekali semburatkan kiblatan sinar putih. “Kita sekarang menuju biara Perguruan Shaolin!” kata Bayangan Tanpa Wajah. Seraya berkata, laki-laki berkulit hitam legam ini melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Namun begitu sadar kalau Ratu Selendang Asmara tidak beranjak dari tempatnya tegak, Bayangan Tanpa Wajah berkata agak keras. “Kau takut?!” “Setinggi apa pun ilmu orang, dia tak mungkin bisa menang berhadapan dengan nasib! Itulah satu-satunya hal yang paling kutakutkan dalam hidup!” Ucapan Ratu Selendang Asmara membuat Bayangan Tanpa Wajah tertawa ngakak lalu berkata. “Tampaknya kau termakan kata-kata orang!” Kini ganti si nenek yang perdengarkan tawa begitu mendengar sahutan Bayangan Tanpa Wajah. “Kau boleh tertawa. Tapi aku yakin, dalam hatimu juga ada rasa takut berhadapan dengan nasib! Apalagi seseorang yang telah dikenal tahu banyak urusan mengatakan nasibmu tidak baik!” “Aku tak pernah berpikir tentang nasib! Itulah sebabnya aku tak pernah punya rasa takut!” Bayangan Tanpa Wajah arahkan pandang matanya jauh ke depan. Lalu sambungi ucapannya. “Kita sekarang telah tahu di mana peta wasiat berada dan ke mana kita harus mencarinya. Kau sekarang berhak memutuskan untuk lanjutkan urusan ini atau….” “Aku tak pernah menjilat ludah di tanah!” Ratu Selendang Asmara menyahut sebelum Bayangan Tanpa Wajah selesaikan ucapan. Bahkan begitu berkata, si nenek segera melesat ke depan lalu berkelebat ke arah mana tadi tangan kanan Dewa Cadas Pangeran menunjuk. Bayangan Tanpa Wajah menyeringai. Dengan hentakkan kaki kanan, laki-laki berwajah hitam legam ini berkelebat menyusul Ratu Selendang Asmara. *** Sementara itu, di tempat kira-kira seratus tombak dari biara Perguruan Shaolin, Pendekar 131 Joko Sableng hentikan langkah. Dia memang sengaja bertindak hati-hati saat tahu mulai memasuki kawasan Perguruan Shaolin. Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata memandang jauh ke depan sana, di mana julangan puncak bangunan Perguruan Shaolin terlihat. “Hem…. Apa aku harus menggundul rambutku agar leluasa masuk Perguruan Shaolin?” Joko bergumam sambil usap rambutnya. “Jika aku masih berambut panjang begini rupa, rasanya sulit bagiku memasuki perguruan itu. Apalagi baru saja terjadi huru-hara yang menewaskan beberapa pimpinan shaolin. Tapi bagaimana bentuk rupaku nanti kalau aku memang benar-benar menggundul rambut?! Lagi pula bagaimana caranya menggundul?! Ah….” Joko gerakkan tangan kanan menyisir rambutnya yang basah oleh keringat. “Apakah aku harus menunggu hingga hari berganti gelap?! Tapi aku pasti masih kesulitan untuk masuk! Kalaupun aku berhasil masuk, tentu aku masih bingung karena aku belum tahu seluk-beluk bangunan di Perguruan Shaolin! Hem…. Ataukah aku harus memancing keluarnya Guru Besar Liang San?! Tapi bagaimana caranya?! Inilah sulitnya. Aku belum tahu bagaimana tampang Guru Besar Liang Sah…. Sementara….” Joko katupkan mulut. Saat bersamaan kepalanya berpaling. Sepasang matanya mendelik besar. Dia sebenarnya ingin membuat gerakan, namun tampaknya dia sadar, gerakan apa pun yang akan dilakukan sudah sangat terlambat. Karena tahu-tahu dua puluh langkah di depan sana telah tegak satu sosok tubuh dengan mata menatap tajam ke arahnya. “Dari penampilannya, jelas dia orang Perguruan Shaolin. Dari usia dan sikapnya, pasti dia tokoh di perguruan itu! Hem…,” Joko memperhatikan orang dengan seksama seraya menduga-duga. Di lain pihak, orang yang tegak di depan sana kerutkan dahi dengan mata dipicingkan. Pandangannya jelas membayangkan rasa curiga. Dia adalah seorang laki-laki berwajah agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya jarang tapi panjang. Sepasang matanya agak besar. Kepalanya gundul dan terlihat beberapa titik putih pada batok kepalanya. Orang ini mengenakan pakaian panjang warna kuning tanpa leher. Di pundaknya melapis kain warna merah yang terus dililitkan pada pinggangnya. Laki-laki ini tidak lain adalah Guru Besar Liang San. “Seorang pemuda…. Tampangnya sepertinya bukan orang negeri ini! Tapi itu tidak, penting. Yang jelas dia seorang pemuda yang mencurigakan karena memata-matai Perguruan Shaolin. Hem…. Aku hampir bisa memastikan…. Dugaanku ternyata tidak jauh meleset! Kemunculannya di sini merupakan satu petunjuk!” Guru Besar Liang San membatin dengan sunggingkan senyum. “Aku harus berlaku ramah…. Lagi pula dia pasti belum tahu siapa yang kini di hadapannya! Hem…. Akhirnya rencanaku berjalan tanpa hambatan! Kini aku sudah tak sabar lagi menunggu hari ganda sepuluh!” Guru Besar Liang San takupkan kedua tangannya di depan dada. Lalu kepalanya ditundukkan seraya berkata pelan. “Amitaba…. Boleh aku bertanya, Anak Muda…?” Murid Pendeta Sinting membuat sikap seperti yang dilakukan orang. Lalu sembari mengumbar senyum dia buka suara. “Amitaba…. Apa yang hendak kau tanyakan, Orang Tua?!” “Siapa namamu?” “Aku punya dua nama. Yang mana kau inginkan? Nama semasa aku masih kecil atau setelah aku menginjak dewasa?!” Guru Besar Liang San kerutkan dahi namun tetap dengan bibir sunggingkan senyum. “Kalau tak keberatan, aku ingin tahu keduanya….” “Waktu kecil aku dipanggil Lon Tong Bu Lim….” Joko hentikan ucapannya sesaat sambil melirik wajah orang. Lalu menyambung. “Begitu aku dewasa, entah karena apa, aku dipanggil Han Ko!” “Seperti halnya aku, mungkin anak ini tidak berkata jujur!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Namun dia tak mau tunjukkan sikap tidak percaya pada ucapan orang. Dia anggukkan kepala dengan tersenyum. “Orang tua…. Aku telah mengatakan siapa diriku. Rasanya tak enak kalau aku tidak tahu siapa dirimu…” Guru Besar Liang San kembali anggukkan kepala, lalu berkata. “Kau beruntung, Anak Muda. Bisa memiliki dua nama. Tidak seperti aku. Aku dilahirkan di sini tanpa kuketahui siapa kedua orangtua ku karena mereka meninggal saat aku masih bayi. Hingga aku sendiri tak tahu siapa yang memberi nama padaku! Yang jelas aku tahu sudah berada di lingkungan shaolin dan mereka memanggilku Wang Kong Fu….” Seperti halnya Pendekar 131, saat sebutkan diri dengan Wang Kong Fu, Guru Besar Liang San melirik seolah ingin tahu sikap orang. Joko memperhatikan orang sekali lagi dengan lebih seksama. Sulit baginya menduga apakah ucapan orang benar atau tidak. “Aku belum kenal sebelumnya dan masih buta sama sekali dengan orang-orang di lingkungan shaolin. Tapi aku punya cara untuk mengetahui apakah dia berkata jujur atau berdusta!” kata Joko dalam hati setelah terdiam beberapa lama. Dia sudah buka mulut hendak berkata. Namun sebelum suaranya terdengar, Guru Besar Liang San yang mengaku bernama Wang Kong Fu sudah mendahului angkat suara. “Anak muda…. kalau aku boleh menduga, keberadaanmu di sini tentu bukan karena sebuah kebetulan! Kau tengah menunggu seseorang? Atau ada perlu lain?!” “Terus terang saja, sejak kecil aku tertarik dengan shaolin. Hanya sayang sekali. Kedua orangtua ku tidak memberikan izin padaku untuk memasuki biara shaolin. Sekarang kedua orangtua ku telah tiada. Namun keinginanku tetap membara. Untuk itulah aku berada di sini. Dan kebetulan bertemu denganmu…. Kalau boleh aku bertanya, apakah mungkin aku bisa diterima di biara shaolin?!” “Amitaba…. Perguruan Shaolin tidak menolak siapa saja yang ingin menjadi keluarga perguruan asal dia mau menjalankan semua peraturan yang telah ditentukan! Hanya saja….” Karena Guru Besar Liang San tidak lanjutkan ucapan, Joko cepat menyahut. “Hanya apa, Orang Tua?!” “Aku ragu apakah kau mampu menjalankan peraturan shaolin! Karena jika seseorang telah menjadi keluarga besar shaolin, dia harus meninggalkan keinginan duniawi….” “Orang tua…. Aku yakin bisa melakukannya….” “Amitaba…. Menjalankan tidak semudah berkata, Anak Muda. Bukannya aku menghalangi keinginanmu. Tapi usia dan lingkungan sangat berpengaruh!” “Maksudmu…?!” “Orang yang menjadi keluarga besar shaolin sejak kecil akan lebih mudah menjalankan peraturan shaolin dibanding dengan orang yang memasuki shaolin saat usianya sudah dewasa. Karena orang dewasa sudah mengenal manisnya duniawi sebelum masuk keluarga shaolin. Dan hal itu nantinya sangat berpengaruh sekali. Lain dengan orang yang masuk keluarga shaolin saat usianya masih kecil. Karena begitu masuk, dia belum kenal manisnya rasa duniawi!” Pendekar 131 terdiam beberapa lama. Guru Besar Liang San arahkan pandang matanya jauh ke puncak bangunan shaolin lalu berkata. “Anak Muda…. Aku menghargai semangatmu. Namun kau harus berpikir sekali lagi jika akan menjadi keluarga besar Perguruan Shaolin!” “Orang tua…. Bukan aku mau unjuk diri. Tapi sebenarnya sejak kecil aku telah dilatih untuk menjauhi segala macam yang berbau duniawi! Kau boleh percaya atau tidak, sampai seusia ini, aku belum pernah mengenal yang namanya perempuan….” Mendengar kata-kata Joko, Guru Besar Liang San tertawa seraya gelengkan kepala. “Anak Muda…. Duniawi bukan saja perempuan…. itu hanya sebagian kecil saja!” “Ah…. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan!” gumam Joko. Lagi-lagi Guru Besar Liang San tertawa. “Anak Muda…. Mau kau katakan padaku, mengapa kau ingin sekali menjadi keluarga shaolin?!” Meski nada bicara Guru Besar Liang San bertanya, ternyata sebelum murid Pendeta Sinting sempat menjawab, Guru Besar Liang San sudah angkat suara. “Kau ingin mempelajari ilmu silat?!” Karena tak ada alasan lain, akhirnya Joko anggukkan kepala. “Sejak kecil aku memang ingin sekali belajar ilmu silat. Dan menurut yang kudengar, Perguruan Shaolin memiliki jurus-jurus yang sulit ditandingi!” “Perguruan Shaolin lebih mementingkan pencucian diri daripada pelajaran ilmu silat. Kalaupun di dalam perguruan diajarkan ilmu silat, itu hanya untuk menjaga kesehatan. Bukan untuk hal lain…. Jadi kau salah duga kalau ingin masuk Perguruan Shaolin dengan tujuan mempelajari ilmu silat!” “Ah…. Lagi-lagi aku salah duga!” “Anak muda…. Aku melihat kobaran semangatmu begitu membara. Aku menawarkan sesuatu padamu…” “Hem…. Orang yang baru kukenal tiba-tiba menawarkan sesuatu. Pasti di baliknya menyimpan sesuatu!” Joko membatin. Lalu berkata. “Harap kau katakan apa yang hendak kau tawarkan.” “Aku melihat bentuk tubuhmu bagus. Sayang kalau disia-siakan. Aku akan mengajarkan padamu semua ilmu silat Perguruan Shaolin tanpa harus masuk menjadi keluarga besar shaolin!” Mendengar ucapan orang, Pendekar 131 buru-buru bungkukkan tubuh. “Amitaba…. Kau tidak main-main, Orang Tua?!” “Salah satu ajaran shaolin adalah dilarang berdusta!” “Ah…. Dari semula aku sudah menduga kalau kau adalah salah seorang tokoh di Perguruan Shaolin. Kuucapkan terima kasih kalau kau memang benar-benar hendak mengajarkan padaku ilmu silat!” “Amitaba…. Kau jangan keburu memuji. Kalaupun aku menawarkan hal itu, semata-mata karena aku menghargai semangatmu! Tapi aku juga minta maaf…” “Dugaanku tidak meleset. Ujung-ujungnya dia minta sesuatu! Tapi aku akan coba menuruti…,” kata Joko dalam hati. Namun dia tidak segera buka suara. Sebaliknya arahkan pandang matanya jauh ke depan.



Dewi Bunga Asmara


Dewi Bunga Asmara
DOWNLOAD
Author : Zhaenal Fanani
language : id
Publisher: Pantera Publishing
Release Date : 2021-04-24

Dewi Bunga Asmara written by Zhaenal Fanani and has been published by Pantera Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2021-04-24 with Fiction categories.


ENTAH karena ingin tahu tanpa harus bertanya, begitu melangkah kira-kira sepuluh tombak, tanpa menoleh dan buka mulut pada si kakek yang melangkah di belakangnya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuhnya. Kejap lain dia berkelebat. Mula-mula Joko agak memperlambat kelebatannya dengan kepala sesekali melirik ke arah si kakek. Yang dilirik tampak enak-enakan melangkah dengan isap dua pipa di mulutnya. Dan karena Joko mulai berlari sementara si orang tua tetap melangkah, jarak kedua orang ini mulai jauh. “Hem…. Apa sebaiknya kutinggal saja? Tidak mungkin aku mencari dengan gerak lambat begini rupa!” Joko berhenti dengan kepala lurus memandang ke depan. “Mengapa berhenti, Anak Muda?! Ada sesuatu yang menarik perhatianmu?!” Pendekar 131 tersentak dan berpaling. “Aneh…. Dia baru saja ada di belakang sana! Sekarang tahu-tahu sudah ada di sini!” Tak mau orang melihat gelagat rasa terkejutnya, Joko segera menyahut. “Kek! Kau benar-benar hendak ikut aku?!” “Hem…. Mengapa kau masih sangsikan diriku?! Kau merasa keberatan?!” “Terus terang saja, Kek! Apa yang akan kudatangi mengandung banyak bahaya! Apakah kau nanti tidak akan merasa menyesal? Bukankah saat ini kau lagi kasmaran?” Si kakek tertawa bergelak. “Joko…. Bahaya itu tidak ada! Itu hanya perasaan manusia! Dan bahaya itu juga ciptaan manusia! Kalau manusia mau berjalan di hukum alam, tidak akan ada bahaya di atas bumi ini!” “Ah…. Repot kalau sudah begini!” batin Joko. “Tapi satu hal yang aku masih sangsi, bagaimana dia bisa menyusul begitu cepat?! Aku akan mencobanya sekali lagi!” Membatin begitu, Joko anggukkan kepala lalu berkata. “Kek! Aku sudah memberi ingat padamu! Kalau nanti terjadi apa-apa, harap tidak menyalahkan aku atau….” “Anak muda…. Aku yakin bahaya itu tidak ada! Jadi kau tak usah cemas!” Si kakek telah memotong ucapan Joko. Pendekar 131 melirik sesaat. Kejap lain dia kembali berkelebat tanpa terlebih dahulu buka mulut. Kali ini dia sengaja langsung berlari kencang laksana orang kesetanan. Bahkan dia tidak berusaha untuk berpaling melihat ke arah si kakek yang ada di belakangnya. Begitu memasuki kawasan sepi dan banyak ditumbuhi pohon, Joko coba palingkan kepalanya sedikit ke belakang tanpa mengurangi kecepatan larinya. Murid Pendeta Sinting sempat kernyitkan dahi tatkala dia tidak lagi melihat sosok si kakek. “Ke mana dia?!” Joko memperlambat larinya dengan kepala terus berpaling ke belakang. Dan ternyata si kakek memang tidak kelihatan lagi batang hidungnya hingga akhirnya Joko berhenti dengan mulut megap-megap. Dia balikkan tubuh. Dia tegak memandang ke depan menunggu. Namun hingga agak lama, yang ditunggu tidak juga muncul! “Jangan-jangan dia berbalik jalan! Ah…. Mengapa aku jadi memusingkannya?! Bukankah aku harus segera menemukan di mana Bukit Toyongga?! Walau aku belum yakin benar dengan apa yang tertera di gulungan daun itu, tapi tidak ada salahnya aku mencoba! Tapi sebaiknya kutunggu barang sesaat, siapa tahu dia akan menyusul. Bagaimanapun juga dia telah memberi keterangan berharga padaku…,” Joko terus tegak dengan mata jelalatan memandang ke arah mana dia tadi datang. Namun setelah agak lama menunggu dan tidak ada tanda-tanda kemunculan si kakek, Joko memutuskan untuk teruskan berjalan. Seraya angkat tangan kanan menyisir rambutnya yang basah, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Namun mendadak gerakan tangan di rambut Joko terhenti. Sepasang matanya mendelik menatap ke depan. Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia melihat satu sosok tubuh duduk bersandar pada satu batang pohon. Joko memang tidak bisa jelas melihat raut wajah dan sosok tubuh orang karena sekujur sosok itu disemburati asap! “Busyet! Bagaimana dia bisa berada di depanku?! Padahal aku tidak merasa dilewati! Berarti bukan aku yang menunggu, tapi dia yang menunggu!” “Anak muda…. Kulihat kau selalu cemas. Kepalamu sering menoleh ke belakang! Bahkan kau sering berhenti! Apa kau takut bahaya itu?!” Orang yang duduk bersandar di batangan pohon dan sekujur tubuhnya disemburati asap dan bukan lain adalah kakek yang terus isap pipa, perdengarkan suara seraya bergerak bangkit. “Sekarang aku yakin! Dan ini menambah keyakinanku jika tulisan yang tertera di gulungan daun bukan main-main!” gumam Joko talu melangkah hendak mendekati si kakek. “Anak muda…. Aku memang tidak akan bertanya ke mana kau akan pergi! Tapi aku menduga kau tengah kebingungan mencari tempat yang hendak kau tuju! Sayang sekali aku bukan orang sini, jadi tidak bisa memberi tahu meski kau bertanya! Tapi…. Mungkin kau bisa bertanya pada orang itu!” Kepala si kakek berpaling ke kanan. Joko ikut arahkan pandang matanya ke arah mana si kakek berpaling. Namun Joko tidak melihat siapa-siapa. “Kek! Yang kau maksud bertanya pada siapa?!” Karena menduga dari tempatnya Joko tidak bisa melihat keberadaan orang, Joko cepat melompat dan tegak di samping si kakek. Si kakek segera berpaling dengan tersenyum. Namun Joko tidak balas senyuman orang. Sebaliknya dia segera arahkan pandangannya ke mana tadi si kakek melihat. “Aku tidak melihat orang! Siapa yang dimaksud orang ini?!” Joko sudah akan bertanya. Namun sebelum suaranya terdengar, si kakek angkat tumitnya. Tangan kanan diangkat ditadangkan di depan kening. Lalu kepalanya bergerak pulang balik ke kanan ke kiri seakan mencari orang yang sembunyi. Karena tak mau banyak tanya dan penasaran, Joko ikut-ikutan angkat tumit. Lalu tangan kanan ditadangkan pula di depan kening dengan kepala digerakkan ke samping kiri kanan. Matanya nyalang tembusi jajaran batang pepohonan. Namun hingga tumitnya kelu dan matanya mendelik panas, Joko tidak juga melihat siapa-siapa. Merasa dipermainkan orang, Joko segera berpaling. Si kakek tampak tenang-tenang saja sambil bersandar ke batangan pohon. Malah kedua tangannya dilingkarkan ke belakang merangkul batangan pohon! “Kek! Harap kau tidak main-main!” “Hem…. Begitu?!” “Dari ucapanmu tadi, jelas kau sepertinya melihat orang! Tapi mana?! Mana orangnya?!” Suara Joko terdengar agak keras karena mulai jengkel. Si kakek tidak menyahut. Dia hanya tertawa perlahan membuat Joko tambah dongkol. “Kek! Aku mau mengajakmu bukan untuk bersenda gurau!” “Hem…. Begitu?!” “Ya! Begitu!” sahut Joko saking jengkelnya. “Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Aku memang suka bercanda. Tapi aku tahu kapan dan di mana serta bagaimana suasananya!” “Jadi, kau berlagak seperti melihat orang hingga aku jadi penasaran, padahal orangnya tidak ada, itu kau anggap bukan main-main?!” “Aku memang melihat orang…!” “Mana manusianya?!” sahut murid Pendeta Sinting. Baru saja Joko ajukan tanya begitu, dari arah depan sana, terlihat satu sosok bayangan berkelebat cepat di antara jajaran pohon. Joko tergagu diam beberapa lama dengan mata pulang balik memandang ke depan dan ke arah si kakek di sampingnya. “Anak muda! Ternyata kau yang suka bercanda, bukan?! Kau melihat orang, tapi kau berkata tidak melihat siapa-siapa!” “Dia bisa melihat kemunculan orang meski orangnya belum kelihatan!” kata Joko dalam hati. “Siapa orang tua ini sebenarnya?! Sayang dia pelit untuk memberitahukan siapa dirinya!” Sosok di depan sana, mendadak hentikan larinya tatkala sadar tidak jauh di hadapannya ada orang lain. Sosok ini terlihat hendak berkelebat menyelinap. Namun karena kesadarannya terlambat, meski dia masih berusaha melompat ke balik batangan pohon, dia tidak bisa lepas dari pandang mata orang. Hanya saja, Joko masih belum bisa melihat bagaimana wajah orang. Yang dia tahu pasti, sosok itu adalah seorang perempuan. “Anak muda! Seandainya aku sendirian, aku tidak akan menunggu lama-lama…. Tapi karena ada kau, aku maklum dan tahu diri! Bertaruh apa pun, pasti dia akan memilihmu….” Joko berpaling. Raut wajahnya tampak bimbang. “Aku harus tetap berhati-hati. Apalagi menghadapi perempuan….” “Anak muda…. Kau tunggu apa lagi? Bukankah kau perlu orang tempat bertanya? Atau kau tadi hanya bersenda gurau?!” Tanpa buka mulut menyahut, Joko segera berkelebat ke depan dan tegak sepuluh langkah dari batangan pohon di mana orang menyelinap sembunyi. Joko memandang sesaat. Karena batangan pohon di mana orang sembunyikan diri agak kecil, Joko bisa melihat sebagian pakaian orang. “Pakaiannya warna kuning. Hem…. Berarti dia bukan pemuda berkebaya atau Bidadari Bulan Emas!” Joko menghela napas lega. Lalu berteriak. “Harap tidak sembunyikan diri! Kami bukan orang jahat atau orang yang suka bersenda gurau mempermainkan orang! Kami hanya perlu tahu bagaimana bentuk wajahmu!” “Ah…. Dasar anak muda! Mengapa berteriak begitu rupa?!” Si kakek yang bersandar di batangan pohon bergumam seraya isap dua pipa di mulutnya. Joko menunggu sejenak. Namun orang di balik batangan pohon tidak juga bergeming dari tempatnya atau perdengarkan suara. “Orang berbaju kuning! Aku tahu kau berada di balik pohon. Mengapa takut sembunyi?! Aku cuma ingin bertanya….” Sesaat hening. Joko masih bersabar menunggu. Namun karena tidak juga ada gerakan atau terdengarnya suara jawaban, Joko buka mulut lagi. Namun sebelum suaranya sempat keluar, terdengarlah suara perempuan menyahut. “Aku tidak mau bicara denganmu!” Joko kerutkan dahi. “Dari suaranya, aku bisa menebak dia seorang nenek-nenek! Hem…. Sayang sekali! Tapi tak apalah…. Aku kali ini hanya perlu bertanya di mana beradanya Bukit Toyongga! Anehnya…. Mengapa suaranya terdengar tidak dari tempatnya dia bersembunyi?! Suara itu seperti bersumber dari langit! Hem…. Ini satu tanda kalau dia memiliki ilmu! Mungkin dia sengaja unjuk diri agar tidak mudah dipandang sepele orang…. Tapi mengapa dia tidak mau bicara denganku?! Ah…. Dasar perempuan…. Sudah tua pun masih suka malu-malu kucing!” Habis membatin begitu, Joko kembali angkat suara. “Orang di balik pohon! Jangan menaruh prasangka dahulu! Aku cuma ingin bertanya…. Setelah itu, seumur hidup tidak bicara denganku pun tak apa-apa!” “Kau dengar ucapanku! Aku tak sudi bicara denganmu apalagi menjawab semua pertanyaanmu! Aku hanya mau bicara dengan kakek tampan pengisap pipa temanmu itu!” Terdengar suara jawaban. Joko tercengang. Dia berpaling pada si kakek yang bersandar di batangan pohon. Si kakek tersenyum dengan tangan kanan digerakkan pulang balik melambai-lambai. “Orang di balik pohon! Yang punya urusan ini aku! Bukan kakek temanku itu!” Joko buka mulut lagi. Namun diam-diam dia melirik ke arah si kakek di batangan pohon. Sesaat tidak ada jawaban. Namun begitu Joko arahkan pandang matanya pada batangan pohon tempat orang sembunyi, terdengar suara sahutan. “Ini memang urusanmu. Tapi aku sudah katakan tidak mau bicara denganmu! Aku memilih kakek tampan itu! Dia punya tongkat sakti! Padahal kau tidak!” Untuk kesekian kalinya dahi murid Pendeta Sinting berkerut. Apalagi dari balik batangan pohon tempat orang bersembunyi terdengar orang bergumam dan mendengus tak senang. Joko manggut-manggut. Saat lain dia berucap. “Orang di balik pohon! Kau keliru jika menduga aku tidak punya tongkat sakti! Aku punya yang lebih sakti dari milik kakek temanku itu!” “Ah…. Yang benar?! Mau memperlihatkan padaku?! Aku akan keluar!” Suara sahutan orang belum selesai, Joko sudah sentakkan kepalanya ke arah si kakek yang bersandar di batangan pohon. Matanya mendelik angker dengan mulut terkancing saat melihat mulut si kakek tampak bergerak-gerak perdengarkan suara! “Jangkrik! Dia menipuku! Sahutan itu suara dia! Bukan suara orang di balik pohon!” “Kek! Mengapa kau masih juga mempermainkan aku, hah?!” Yang dibentak tidak menyahut. Sebaliknya tertawa bergelak-gelak! Saat itulah terdengar suara. “Kalian manusia-manusia lancang yang tak punya aturan! Mulut orang macam kalian perlu diberi gebukan!” Meski suara yang baru terdengar nadanya membentak, namun suara itu merdu, hingga Joko cepat sentakkan kepala berpaling lagi ke arah pohon di mana orang bersembunyi. Murid Pendeta Sinting beliakkan mata ketika di depan pohon di mana orang bersembunyi telah tegak satu sosok tubuh. Dia adalah seorang gadis cantik jelita berambut hitam lebat digeraikan hingga punggung. Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian warna kuning tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda hingga busungan dadanya yang mencuat tampak sekali menggoda. Pinggulnya besar ditingkah pakaian bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisinya. Hingga tatkala gadis ini tegak dengan sedikit renggangkan kaki, Joko bisa melihat jelas pahanya yang padat dan mulus. Pada pinggangnya yang ramping melilit sebuah ikat pinggang dari kain yang juga berwarna kuning. Dan tepat di bagian sisi bagian kiri pinggangnya tampak satu pedang pendek bergagang batu berwarna kuning pula. Saat Joko berpaling, baik Joko maupun si gadis berpakaian kuning tampak sama terkejut. Joko cepat tersenyum. Si gadis segera pula hendak sunggingkan senyum. Namun mungkin karena teringat akan ucapan-ucapan orang, si gadis urungkan senyum dan balik unjukkan tampang ketus seraya alihkan pandangan!



Wasiat Darah Di Bukit Toyongga


Wasiat Darah Di Bukit Toyongga
DOWNLOAD
Author : Zhaenal Fanani
language : id
Publisher: Pantera Publishing
Release Date : 2021-04-24

Wasiat Darah Di Bukit Toyongga written by Zhaenal Fanani and has been published by Pantera Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2021-04-24 with Fiction categories.


"DIA bersekongkol dengan Bu Beng La Ma dan pemuda asing itu!” Hantu Bulan Emas berkata dengan suara keras. Baginda Ku Nang terkejut. Dia kini alihkan pandangannya pada Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San tegak dengan tubuh bergetar. Kemarahannya sudah memuncak. Dia sudah membuat gerakan hendak berkelebat ke arah Hantu Bulan Emas. Namun Baginda Ku Nang mendahului dengan berkata. “Guru Besar…. Apa benar?!” Guru Besar Liang San urungkan niat. Dia hadapkan wajah pada sang Baginda. “Amitaba… Harap Baginda tidak termakan dengan fitnahnya!’ Mendengar ucapan Guru Besar Liang San, Hantu Bulan Emas tertawa dan kembali buka suara. “Kau lupa bertemu denganku di Kuil Atap Langit?!” “Aku memang berada di sana. Tapi…� Sebelum Guru Besar Liang San selesaikan ucapannya, Hantu Bulan Emas sudah memotong. “Jangan berdalih. Guru Besar! Siapa pun saat itu tahu jika pemuda asing itu berada di Kuil Atap Langit! Adalah hal aneh kalau keberadaanmu di sana hanya sebuah kebetulan belaka! Apalagi selama ini kau diketahui jarang bergaul, lebih-lebih dengan Bu Beng La Ma!” “Kau jangan mengarang cerita! Aku benar-benar tak tahu kalau saat itu pemuda dari seberang itu ada di sana! Dan tujuanku ke sana pun semata-mata ingin memberitahukan tentang peristiwa yang baru saja terjadi!” Lagi-lagi Hantu Bulan Emas tertawa mendengar ucapan Guru Besar Liang San. Saat lain dia kembali angkat suara seraya mendongak. “Alasanmu tidak masuk akal. Guru Besar! Tanpa kau beri tahu pun, kelak semua orang akan tahu dan mendengar! Dan kalaupun benar kau ingin memberi tahu, berarti ada yang tak beres dengan peristiwa di perguruanmu itu! Kau sengaja memberi tahu orang agar orang tidak merasa curiga jika kau ikut mendalangi peristiwa itu!” “Tutup mulutmu!” bentak Guru Besar Liang San sambil melirik sesaat pada sang Baginda. Dia diam-diam merasa khawatir kalau sang Baginda percaya dengan ucapan Hantu Bulan Emas. Di lain pihak, Baginda Ku Nang sebenarnya merasa curiga begitu mendengar keterangan Hantu Bulan Emas. “Hem…. Dia mendatangi Kuil Atap Langit. Sementara pemuda asing itu berada di sana! Jangan-jangan dia selama ini bermuka dua! Menjalin hubungan denganku untuk memperoleh separo peta wasiat yang berada di Perguruan Shaolin, lalu secara diam-diam menjalin hubungan pula dengan Bu Beng La Ma untuk mendapatkan separo peta wasiat yang disebut-sebut berada di tangan pemuda asing itu! Kalau benar begitu, berarti separo peta wasiat itu sudah berada di tangannya!” Membatin sampai di situ, akhirnya sang Baginda berujar. “Guru Besar…. Agar tidak terjadi pertumpahan darah yang tidak berguna, harap kau mau berterus terang pada kami yang berada di sini!” Dada Guru Besar Liang San berdebar tidak enak. “Berterus terang bagaimana, Yang Mulia?!” katanya dengan suara bergetar. “Kau telah mendapatkan peta wasiat yang selama Ini dikabarkan berada di tangan pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti urusan peta wasiat itu sudah selesai!” “Amitaba…. Baginda percaya dengan ucapannya?!” kata Guru Besar Liang San seraya ganti arahkan telunjuk Jarinya pada Hantu Bulan Emas. “Masalahnya bukan percaya atau tidak! Tapi kalau kau mau berterus terang, kita bisa cegah pertumpahan darah yang tiada gunanya! Karena kau sendiri pasti tahu, siapa pun orangnya yang akan hadir di tempat ini, pasti tidak bukan ingin memiliki peta wasiat itu!” “Yang Mulia! Peta wasiat itu tidak berada di tanganku! Dan kalaupun benar peta wasiat itu sudah ada di tanganku, tak mungkin aku datang ke tempat ini!” Baginda Ku Nang tertawa pendek dengan gelengkan kepala. “Guru Besar… Bukannya aku tidak percaya padamu. Tapi aku sependapat dengan sahabat Hantu Bulan Emas. Adalah aneh kalau kau datang ke Kuil Atap Langit, sementara pemuda asing itu berada di sana! Dan kau berdalih kedatanganmu hanya perlu memberitahukan akan peristiwa yang terjadi! Seandainya kau tadi berkata kedatanganmu ke Kuil Atap Langit semata-mata mengejar pemuda asing itu, mungkin aku tidak merasa aneh!” “Yang Mulia…. Harap tidak curiga, karena….” “Guru Besar!” potong sang Baginda. “Kalau kau masih juga berdalih, itu membuatku makin curiga! Bahkan aku bisa menduga, kedatanganmu ke tempat ini hanya semata-mata agar kau tidak dituduh sudah mendapatkan peta wasiat itu! Sekarang berterus teranglah!” “Yang Mulia boleh percaya atau tidak! Yang jelas, aku belum mendapatkan peta wasiat itu!” Baru saja Guru Besar Liang San berkata begitu, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak di sebelah ujung puncak bukit sana. Dia adalah seorang perempuan mengenakan pakaian warna hitam panjang. Paras wajahnya tidak bisa dikenali karena dia sengaja menutupi wajahnya dengan cadar hitam dan hanya menyisakan dua lobang tepat pada kedua pasang matanya. Untuk beberapa saat, semua kepala di tempat itu berpaling. Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tidak membuat gerakan menoleh. Sebaliknya orang tua ini melangkah ke arah sebatang pohon, lalu enak saja dia duduk bersandar setelah menarik bumbung bambu yang tadi dibuat duduk. Di lain pihak, begitu semua kepala berpaling ke arahnya, si perempuan bercadar sapukan pandang matanya ke semua orang. “Hem… Nyatanya dia belum muncul! Apakah dia tidak tahu urusan di tempat ini?! Sebaiknya aku menunggu… Aku tidak akan ikut campur urusan orang-orang itu. Karena kedatanganku bukan untuk peta wasiat itu!” Habis bergumam begitu, perempuan bercadar hitam melangkah mendekati sebatang pohon tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran. Dia tegak bersandar di sana tanpa buka mulut bahkan alihkan pandangannya ke samping bukit seolah menunggu seseorang! Kemunculan perempuan bercadar hitam membuat semua orang di tempat itu sempat bertanya-tanya, karena mereka memang belum pernah mengenali ada seorang tokoh yang berciri demikian. Namun karena saat itu semua tengah tenggelam oleh ketegangan antara Guru Besar Liang San dan Hantu Bulan Emas serta Baginda Ku Nang, mereka tidak pedulikan lagi tentang siapa adanya perempuan bercadar hitam. Malah begitu si perempuan melangkah mendekati pohon, Baginda Ku Nang sudah angkat bicara. “Guru Besar…. Kurasa tidak ada gunanya kau terus berdusta! Lagi pula sebenarnya peta wasiat itu milik perguruanmu!” “Itu cerita lama, Yang Mulia!” Hantu Bulan Emas menyahut. “Saat ini, siapa pun juga punya hak untuk memiliki peta wasiat itu!” “Benar! Peta wasiat itu dibuat bukan semata-mata diperuntukkan bagi Perguruan Shaolin! Tapi bagi semua kalangan rimba persilatan!” Ratu Selendang Asmara yang sejak tadi diam, menimpali ucapan Hantu Bulan Emas. Guru Besar Liang San menggeram marah. Dan karena pangkal dari semua tuduhan yang kini diarahkan padanya berasal dari ucapan Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang San tumpahkan kemarahannya pada Hantu Bulan Emas. Hingga tanpa buka mulut sambuti ucapan sang Baginda, Hantu Bulan Emas, serta Ratu Selendang Asmara, dia berkelebat ke arah Hantu Bulan Emas! Tampaknya Hantu Bulan Emas bisa membaca gelagat. Begitu Guru Besar Liang San membuat gerakan, dia ikut berkelebat menyongsong. Namun belum sampai jauh bergerak, satu sosok bayangan berkelebat dan langsung memotong gerakan Guru Besar Liang San! Guru Besar Liang San cepat hentikan kelebatan dan tegak di atas tanah dengan tampang angker. Saat lain dia berpaling sedikit untuk mengetahui siapa sosok yang menghadang gerakannya. Saat bersamaan, Hantu Bulan Emas juga hentikan kelebatannya yang hendak menyongsong Guru Besar Liang San. Dia menoleh ke kanan. Dia terkesiap sejenak. Kejap lain dia melesat dan tegak di samping sosok yang baru saja menghadang gerakan Guru Besar Liang San. “Ouw Kui Lan!” bisik Hantu Bulan Emas seraya perhatikan orang di sampingnya yang ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik mengenakan pakaian warna putih tipis hingga lekukan sekujur tubuhnya terlihat jelas. Rambutnya yang hitam lebat disanggul sedikit ke atas dan sebagian digeraikan di pipi kanan kirinya. Pada kepalanya mengenakan sebuah mahkota berwarna kekuningan bergambar bulan sabit. Dia bukan lain adalah Ouw Kui Lan atau yang lebih dikenal orang dengan Bidadari Bulan Emas, murid tunggal Hantu Bulan Emas. “Kedatanganmu ke tempat ini satu bukti jika kau gagal dengan pekerjaanmu!” Bidadari Bulan Emas sapukan pandangannya dahulu pada semua orang yang berada di tempat itu, Lalu berpaling pada Hantu Bulan Emas dan berkata dengan sedikit bungkukkan tubuh. “Maaf, Guru! Aku telah berusaha…., Bahkan semua petunjukmu telah kulakukan. Dan hampir saja aku dapat menyelesaikan pekerjaan itu! Sayang…. Seseorang telah menggagalkan pekerjaanku!’ Bidadari Bulan Emas alihkan pandang matanya ke arah Guru Besar Liang San yang tegak tidak jauh di hadapannya. Saat bersamaan tangannya terangkat menunjuk pada Guru Besar Liang San dan berseru lantang. “Dialah orangnya!” Hantu Bulan Emas sengatkan sepasang matanya ke batok kepala Guru Besar Liang San. Tanpa buka mulut lagi dia melesat. Namun Baginda Ku Nang telah mendahului berkelebat bergerak dan tegak di hadapan Guru Besar Liang San seraya berkata. “Aku tidak ingin terjadi silang sengketa! Dan jalan satu-satunya adalah, kuharap Guru Besar Liang San mau serahkan peta wasiat itu padaku! Tapi semua harap tidak punya rasa prasangka padaku!” Baginda Ku Nang sapukan pandangannya pada semua orang yang ada di tempat itu. lalu lanjutkan ucapan. “Aku tahu, semua orang menginginkan peta wasiat itu! Dan hal ini pasti akan menimbulkan pertikaian yang berakhir dengan pertumpahan darah! Aku….” “Apakah dengan peta wasiat di tangan penguasa, berarti keadaan akan bisa lebih aman?! Apakah kalau peta wasiat berada di tangan Yang Mulia, berarti pertumpahan darah bisa dihindari?! Apakah jika peta wasiat di tangan pihak kerajaan, berarti perebutan ini bisa diakhiri?!” Guru Besar Liang San sudah menyahut dengan suara keras sebelum Baginda Ku Nang selesai dengan ucapannya. Baginda Ku Nang terlihat marah. Namun dia masih coba menindih perasaan. Seraya pentangkan mata dia berkata. “Aku minta peta wasiat itu bukan untuk disimpan, lebih-lebih untuk kumiliki! Karena hal itu tidak menyelesaikan urusan! Karena hal itu tidak akan membuat keadaan bisa lebih aman! Karena hal itu tidak bisa hindarkan dari pertumpahan darah! Karena hal itu tidak bisa mengakhiri perebutan!” Suara sang Baginda terdengar bergetar dan keras membahana seolah menyentak kesunyian puncak Bukit Toyongga. “Lalu untuk apa?!” Tiba-tiba satu suara menyahut. Suara ini juga tak kalah bergetar dan kerasnya. Hanya saja semua orang di tempat itu tahu, jika suara yang baru saja terdengar disuarakan oleh seorang perempuan! Anehnya, meski semua orang di tempat itu sama putar kepala selain kepala Dewa Cadas Pangeran, mereka tidak menemukan si orang yang baru saja buka suara! Keadaan mendadak sunyi laksana kuburan. Hanya beberapa mata yang terlihat saling lontar pandang dengan penuh curiga. Dan belum sampai ada yang angkat suara lagi, tiba-tiba puncak Bukit Toyongga kembali dipecah dengan terdengarnya satu suara. “Aku bertanya! Mengapa tidak ada yang memberi jawaban?! Untuk apa, hah?! Untuk apa peta wasiat itu?!” Semua orang sempat terkejut. Kalau suara yang pertama tadi jelas diperdengarkan oleh perempuan, kali ini suara itu jelas diperdengarkan oleh laki-laki! Bidadari Bulan Emas dan Guru Besar Liang San kerutkan kening masing-masing. Dan hampir bersamaran, mereka bergumam. “Pemuda berkebaya itu!” Mereka jelas tahu, karena mereka berdua sudah pernah mendapati hal yang sama beberapa hari yang lalu. Mereka berdua kembali gerakkan kepala mencari. Namun sejauh ini mereka belum juga bisa menemukan sosok orang yang dicari. Di lain pihak, Baginda Ku Nang sempat hendak berkelebat. Namun entah karena apa, tiba-tiba dia batalkan niat. Sebaliknya dia kerahkan sedikit tenaga dalamnya lalu berteriak. “Kau bertanya! Aku yang akan jawab! Peta wasiat itu kuminta untuk kumusnahkan! Dengan begitu, tidak akan ada lagi perebutan apalagi pertumpahan darah!” Terdengar suara orang tertawa panjang. Lalu terdengar lagi ucapan yang tak kalah lantangnya dengan jawaban Baginda Ku Nang. “Peta wasiat itu dibuat bukan untuk dimusnahkan! Tapi diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu untuk memegangnya! Dan kalaupun hal itu akan membawa pertumpahan darah, itu akibat bodohnya orang yang merebut! Lagi pula tidak akan ada rimba persilatan tanpa tetesan darah yang mengalir!” “Kalian berani berkata lantang! Tapi mengapa tidak berani unjuk muka?!” kata Baginda Ku Nang. Sang Baginda menduga yang perdengarkan suara adalah dua orang. Sementara itu begitu yakin siapa orang yang perdengarkan suara, diam-diam Guru Besar Liang San membatin. “Pemuda asing bergelar Pendekar 131 Joko Sableng itu mengatakan peta wasiat telah diambil pemuda berkebaya yang suaranya baru saja terdengar. Hem… Aku belum percaya benar, tapi dari sikapnya, jelas aku bisa membaca jika ucapannya tidak berdusta! Ini saatnya aku merebut dari tangan pemuda berkebaya itu!” Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Kejap lain dia buka kelopak matanya dan perlahan-lahan dia bergerak memutar ke satu arah. Saat berikutnya dia membuat gerakan. Sosoknya berkelebat. Semua orang di tempat itu sama terkejut. Lebih-lebih Baginda Ku Nang dan si Panglima. Mereka berdua khawatir jika Guru Besar Liang San berkelebat melarikan diri. Hingga begitu Guru Besar Liang San berkelebat, sang Baginda dan sang Panglima segera pula mengejar. Namun bersamaan dengan itu, tepat ke arah mana Guru Besar Liang San berkelebat, satu sosok tubuh melesat menyongsong sosok Guru Besar Liang San!



Tabir Peta Shaolin


Tabir Peta Shaolin
DOWNLOAD
Author : Zhaenal Fanani
language : id
Publisher: Pantera Publishing
Release Date : 2021-04-24

Tabir Peta Shaolin written by Zhaenal Fanani and has been published by Pantera Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2021-04-24 with Fiction categories.


HANTU Pesolek sudah tahu siapa gerangan yang menghadang pukulannya. Dia sudah siapkan pukulan. Namun begitu ekor matanya menangkap sosok Pendekar 131 yang sudah bangkit, pemuda berkebaya ini urungkan niat. Dia sentakkan tubuhnya berputar menghadap murid Pendeta Sinting. Saat lain sosoknya melesat. Meski masih merasakan kepalanya berkunang-kunang dan dadanya berdenyut nyeri serta anggota tubuhnya tegang kaku, Joko cepat membuat gerakan berkelebat. Joko tidak berusaha untuk menghadang Hantu Pesolek dengan menyongsong kelebatannya, karena dia sudah pernah mengalami dan akibatnya fatal. Kantong putih berisi peta wasiat pemberian Guru Besar Pu Yi lenyap diambil Hantu Pesolek. Maka kali ini dia tidak mau mengulangi kesalahannya. Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting berkelebat menyingkir. Hantu Pesolek melesat mengejar ke mana Joko menghindar. Joko tidak menunggu sampai tubuh Hantu Pesolek mendekat dan beradu tangan. Begitu masih sepuluh langkah lagi sosok Hantu Pesolek sampai, Pendekar 131 sudah sentakkan kedua tangannya. Wuuttt! Wuuutt! Dua gelombang dahsyat berkiblat. Hantu Pesolek terpaksa hentikan gerakan berkelebatnya dan serta-merta dorongkan kedua tangannya. Bummmm! Bentrok gelombang pukulan terjadi. Sosok Hantu Pesolek terdorong keras di udara lalu melayang turun. Tubuh Hantu Pesolek tampak terhuyung-huyung. Karena dia memapak pukulan waktu berada di udara. Sementara sosok Pendekar 131 hanya tersentak-sentak maju mundur. “Serahkan kantong dan gelang itu padaku!” Hantu Pesolek angkat suara. “Hem…. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kantong di tangannya! Dia termakan ucapanku dan sikap Dewa Cadas Pangeran serta Dewa Asap Kayangan. Aku akan coba tawar menawar….” Joko membatin dalam hati. Lalu berkata. “Kau sudah memiliki kantong. Untuk apa kau minta kantong yang ada padaku?!” “Jangan bertanya! Turuti saja perintahku!” “Kita sama-sama punya kantong. Bagaimana kalau kita bertukar?!” “Aku minta kau serahkan kantong dan gelang itu padaku! Aku tidak minta….” Belum selesai ucapan Hantu Pesolek, Joko sudah menukas. “Kalau kau tidak mau bertukar, bagaimana kalau kau serahkan saja kantong di tanganmu padaku?! Bukankah kantong itu dahulu kau ambil dari tanganku?!” Hantu Pesolek tidak sambuti ucapan murid Pendeta Sinting dengan angkat suara. Melainkan langsung melompat ke depan sambil lepaskan pukulan. Joko tidak mau bertindak main-main apalagi dia yakin kantong di tangan Hantu Pesolek adalah kantong yang asli. Maka dia segera siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Hingga saat itu juga kedua tangannya pancarkan sinar kekuningan. Dan saat Joko sentakkan kedua tangannya, dua gelombang dahsyat berkiblat disertai sinar warna kuning yang semburkan hawa panas menyengat. Blaamr! Kembali terdengar ledakan keras. Sosok Hantu Pesolek tersapu ke belakang hingga beberapa langkah. Namun pemuda berkebaya ini masih bisa kuasai diri tidak sampai jatuh terjengkang meski parasnya berubah dan sosoknya bergetar keras. Hantu Pesolek cepat lipat gandakan tenaga dalam, karena dia tadi tidak menduga jika akan dihadang dengan pukulan dahsyat, hingga sosoknya sempat tersapu. Namun Hantu Pesolek tidak segera membuka pukulan, karena tiba-tiba dia merasakan mulutnya asin dan perutnya mual. Dia coba bertahan, tapi gagal hingga saat itu juga mulutnya mengembung sebelum akhirnya perdengarkan batuk muntahkan darah! “Jahanam keparat!” maki Hantu Pesolek mengutuki dirinya sendiri karena dia sama sekali tidak menduga kalau bentrokan pukulan itu akan membuatnya terluka dalam. Di lain pihak, karena sudah terluka akibat bentrok dengan Hantu Bulan Emas, bentrokan yang baru saja terjadi membuat dadanya makin sesak dan mulutnya megap-megap. Namun sejauh ini dia tidak mengalami luka dalam, karena pukulan yang dilepas Hantu Pesolek masih kalah dibanding pukulan yang dilepaskan Joko. Hantu Pesolek rangkapkan kedua tangannya di atas kening. Lalu kedua kakinya ditekuk dan duduk di atas tanah. “Apa pun yang dilakukan orang itu, pasti dia akan lepaskan pukulan andalannya!” Joko membatin. Lalu ikut-ikutan duduk di atas tanah dengan kedua tangan ditarik ke belakang. Saat itu juga telapak tangan kiri murid Pendeta Sinting berubah menjadi kebiruan. Inilah tanda kalau dia tengah siapkan pukulan sakti ‘Serat Biru’! Hantu Pesolek sentakkan kedua tangannya sejajar dengan dada. Lalu dihantamkan ke depan. Tidak ada suara deru yang terdengar. Gelombang pun tidak kelihatan. Tapi saat itu juga murid Pendeta Sinting rasakan sapuan angin gelombang luar biasa dahsyat. Hingga kalau dia tidak segera sentakkan kedua tangannya niscaya sosoknya akan segera terpental! Wuuutt! Wuutt! Dari tangan kiri Joko melesat serat-serat biru laksana benang. Hantu Pesolek tertawa panjang, membuat semua kepala berpaling. Namun tiba-tiba pemuda berkebaya itu putuskan tawanya. Saat lain pemuda ini melakukan tindakan hebat. Sosoknya melesat laksana terbang ke arah Pendekar 131 menerabas serat-serat biru! Hebatnya, meski serat-serat biru itu bukan serat-serat biasa, namun Hantu Pesolek sepertinya tidak merasakan apa-apa! Murid Pendeta Sinting melengak. Kuduknya jadi dingin mendapati pukulan ‘Serat Biru’-nya bukan saja tidak mampu menghantam Hantu Pesolek, namun pukulan itu laksana tidak punya kehebatan sama sekali. Hingga sosok Hantu Pesolek enak saja menerabas dan tidak merasakan apa-apa! “Menyingkiiiiir!” Tiba-tiba Dewa Asap Kayangan berteriak. Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 131 sentakkan kedua kakinya ke atas tanah. Sosoknya berkelebat ke samping hindari gerakan sosok Hantu Pesolek. Tapi Joko jadi terkejut. Karena baru saja berkelebat ke samping, Hantu Pesolek sudah berada tiga langkah di depannya! “Menyingkirrrrrrr!” Lagi-lagi terdengar teriakan. Kali ini diperdengarkan Dewa Cadas Pangeran. Joko cepat turunkan kedua tangannya yang hendak lepaskan pukulan lagi ke arah Hantu Pesolek. Lalu berkelebat lagi menghindar. Tapi baru saja melesat, Hantu Pesolek sudah pula berada tidak jauh di hadapannya! “Pukullllll!” Hampir berbarengan Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan berseru. Meski masih dilanda keheranan, namun Joko segera angkat kedua tangannya dan langsung dihantamkan pada Hantu Pesolek. Hantu Pesolek sempat perdengarkan teriakan marah. Lalu papasi kedua tangan Joko dengan sentakkan kedua tangannya. Bukkk! Bukkk! Sosok Hantu Pesolek langsung terdorong keras di udara. Kedua tangannya mental balik. Lalu jatuh terjengkang di atas tanah dengan mulut semburkan darah. “Heran…. Bagaimana bisa begini?! Padahal pukulanku tadi pukulan biasa! Hanya mengandalkan tenaga dalam pada kedua tangan!” Joko membatin sambil pegangi kedua tangannya yang terasa ngilu dan mengembung merah. Hantu Pesolek menoleh pada Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan seraya pegangi dadanya. Sepasang matanya mendelik angker. “Dari mana mereka tahu kelemahanku?! Aku tak bisa terus berada di tempat ini! Aku bisa celaka!” Habis membatin begitu, Hantu Pesolek berteriak lantang. “Dewa Cadas Pangeran! Dewa Asap Kayangan dan kau pemuda asing! Malam ganda sepuluh ini jadi saksi urusan antara kita! Kalian boleh sembunyi sampai ujung bumi, di bawah tanah di atas langit! Tapi kalian kelak akan kucari dan tak mungkin lolos sampai urusan kita selesaikan!” Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek telah berkelebat. “Kau boleh pergi sampai ujung dunia, sampai ke dalam tanah dan sampai ke atas langit! Tapi serahkan dahulu kantong di tanganmu! Itu kantongku!” Joko berteriak lalu melompat dan berdiri menghadang. “Kawanku Hantu Pesolek…,” kata Dewa Asap Kayangan. “Turuti saja permintaan kawan kita itu! Urusan nanti kita selesaikan kelak di kemudian hari!” “Kami tahu kelemahanmu!” Dewa Cadas Pangeran menyabut. “Kalau kau masih ingin selesaikan urusan kelak kemudian hari, turuti apa yang diminta pemuda kawan kita itu! Jika tidak, berarti urusan itu akan kita selesaikan malam ini juga!” Tengkuk Hantu Pesolek jadi merinding. “Daripada nyawaku melayang dengan membawa dendam tak terbalas, lebih baik kuturuti saja permintaannya! Dengan begitu aku masih punya kesempatan untuk membalas!” Tanpa buka suara, tangan Hantu Pesolek menyelinap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar dan disentakkan, kantong putih melayang tercampak di atas tanah! “Kantong itu adalah titipan nyawa kalian! Kelak aku akan mengambilnya lagi beserta nyawa kalian!” seru Hantu Pesolek. Sekali membuat gerakan sosoknya berkelebat menuruni Bukit Toyongga. “Jangan mimpi kau bisa lari!” Tiba-tiba Dewi Bunga Asmara membentak garang. Namun sebelum sosoknya sempat berkelebat mengejar Hantu Pesolek, Dewa Cadas Pangeran telah berkata. “Gadis cantik…. Sakit hati memang belum tuntas. Tapi kau harus sadar. Lagi pula kelak mungkin kau masih bisa berjumpa dengannya lagi. Kau tak usah mencarinya, karena dia akan datang mencariku. Kau cukup bersamaku kalau ingin bertemu dengannya lagi….” Walau kemarahannya masih membuncah akibat kematian gurunya di tangan Hantu Pesolek, namun ucapan Dewa Cadas Pangeran masih membuat Dewi Bunga Asmara berpikir. Hingga dia batalkan niat untuk mengejar Hantu Pesolek. Sebaliknya segera melangkah ke arah sosok mayat Ratu Selendang Asmara. Di lain pihak, begitu Hantu Pesolek berlalu, murid Pendeta Sinting segera melompat mengambil kantong putih yang tercampak di tanah. Namun baru saja tangan kanan Pendekar 131 menjulur ke bawah, satu deruan dahsyat menghampar. Gelombang pukulan menggebrak diiringi semburatnya asap hitam. Murid Pendeta Sinting sempat berseru kaget. Dia urungkan niat untuk mengambil kantong di tanah. Selain karena tiba-tiba pemandangan menjadi hitam pekat, dia harus cepat menghadang pukulan yang datang. Joko cepat putar tubuh. Bersamaan itu kedua tangannya bergerak menyentak. Wuutt! Wuuuutt! Sinar kuning berkiblat disertai suara gemuruh luar biasa dan hawa panas menyengat. Inilah tanda kalau Joko lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Kali ini Joko memang tidak segan-segan lepaskan pukulan andalan, karena dia maklum bukan saja nyawanya yang harus diselamatkan, namun kantong di atas tanah juga tidak boleh lepas ke tangan orang lain. Untuk kesekian kalinya puncak bukit dibuncah ledakan keras. Asap hitam langsung semburat berantakan. Saat bersamaan satu sosok hitam terpental mencelat lalu terjengkang di atas tanah. Joko sendiri tampak terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk. Ketika dia luruskan kepalanya ke depan, di seberang sana sosok hitam yang telah terjengkang bergerak bangkit. Ternyata orang ini adalah Bayangan Tanpa Wajah. Bayangan Tanpa Wajah sendiri langsung kerahkan telaga dalamnya. Seolah tidak mau memberi kesempatan, dia sudah berkelebat ke depan sebelum Pendekar 131 bergerak bangkit. Mungkin menduga lawan telah terluka cukup parah setelah bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu Pesolek, Bayangan Tanpa Wajah terus melesat ke depan. Dan tahu-tahu kaki kanannya sudah lepas tendangan ke arah kepala Joko sementara tangan kiri kanannya lepaskan hantaman ke arah perut. Joko sentakkan tubuhnya ke belakang. Kakinya diangkat tinggi-tinggi seolah membuat gerakan bersalto. Bukkkk! Buukk! Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan seruan tegang tertahan. Sosoknya terbanting ke samping dan jatuh menghantam tanah. Di lain pihak, kedua kaki Joko yang terangkat ke atas langsung mental ke bawah dan menggebrak tanah hingga perdengarkan debuman keras dan membuat lobang menganga! Terhuyung-huyung Bayangan Tanpa Wajah beranjak bangkit. Saat lain laki-laki berkulit hitam legam ini takupkan kedua tangannya sejajar dada. Kejap itu juga terlihat bayangan hitam seolah-olah keluar dari sosok tubuh Bayangan Tanpa Wajah. Hingga yang terlihat sekarang adalah dua sosok tubuh. Karena sudah pernah bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah, Joko tahu persis apa yang hendak dilakukan Bayangan Tanpa Wajah. Hingga begitu dari sosok tubuh Bayangan Tanpa Wajah akan keluar lagi satu bayangan hitam, murid Pendeta Sinting segera lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’ ke arah sosok Bayangan Tanpa Wajah. Bayangan Tanpa Wajah terlengak. Terlambat baginya membuat gerakan menghadang atau menghindar. Hingga tanpa ampun lagi sosok Bayangan Tanpa Wajah tersapu mental hingga beberapa tombak sebelum akhirnya terkapar di atas tanah dengan pakaian terbakar dan mulut muntahkan darah. Laki-laki ini sempat mengejang beberapa saat sebelum akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi.



Bidadari Delapan Samudra


Bidadari Delapan Samudra
DOWNLOAD
Author : Zhaenal Fanani
language : id
Publisher: Pantera Publishing
Release Date : 2021-04-24

Bidadari Delapan Samudra written by Zhaenal Fanani and has been published by Pantera Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2021-04-24 with Fiction categories.


SEPASANG kaki Pendekar 131 laksana disapu gelombang dahsyat hingga tersurut dua tindak, saking kagetnya mendengar pertanyaan orang. Sepasang matanya mendelik besar. Namun dia segera dapat kuasai diri setelah membatin. “Mungkin Dewa Asap Kayangan telah bercerita padanya tentang diriku hingga dia bisa tahu kalau aku berasal dari negeri asing! Dan rupanya perempuan berkerudung tadi berkata benar. Ini adalah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai…. Hem…. Bagaimana lembah begini bisa dinamakan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?! Aku tidak melihat adanya tan da-tanda yang pantas lembah ini dinamakan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai…. Tapi itu tidaklah penting! Yang jelas aku telah menemukan lembah yang kucari…!” “Pendekar 131! Kau telah dengar pertanyaanku. Kuharap kau segera memberi jawaban!” “Aku ingin bertemu dengan Dewa Asap Kayangan…” “Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai bukan tempat tinggalnya Dewa Asap Kayangan! Kau salah alamat jika ingin bertemu dengannya di sini!” “Tapi Dewa Asap Kayangan berjanji menungguku di tempat ini….” “Kau jangan bicara dusta! Kapan dan di mana dia mengatakannya?!” tanya orang yang duduk bersila di atas altar batu cadas. “Tidak lama berselang, di puncak Bukit Toyongga!” “Hem….” Orang di atas altar batu cadas mendehem. Lalu berpaling ke arah mana murid Pendeta Sinting tegak berdiri. Namun Joko tidak bisa melihat raut wajah orang, karena wajah itu tertutup julaian kerudung putih yang diletakkan di atas kepalanya dan ditekan dengan rangkapan kedua tangannya di depan dada. “Kakakku Dewa Asap Kayangan memang telah cerita tentang janjinya dengan seseorang! Namun karena ada sesuatu yang harus segera dilakukan, dan yang ditunggu tidak juga segera muncul, terpaksa dia pergi dengan pesan agar aku memberi penjelasan yang diinginkan orang yang hendak menemuinya!” Habis berkata begitu, orang yang duduk bersila putar kepalanya lagi lurus ke depan. Namun sebelum murid Pendeta Sinting sempat angkat suara, orang di atas altar batu cadas sudah berucap lagi. “Dari jawabanmu, sepertinya kaulah orang yang ditunggu! Tapi itu belumlah membuatku yakin jika kau adalah orang yang membuat perjanjian dengan Dewa Asap Kayangan saat berada di puncak Bukit Toyongga!” Joko kernyitkan dahi. “Aku tak paham apa maksudmu…!” “Jawaban kata-kata bisa dibuat. Tapi tidak demikian halnya dengan bukti! Dan aku baru percaya kaulah orang yang membuat janji pertemuan jika kau bisa tunjukkan bukti!” “Bukti apa yang kau minta?!” tanya murid Pendeta Sinting masih dengan dahi berkerut. “Hasil dari peristiwa di puncak Bukit Toyongga!” Pendekar 131 terdiam beberapa lama. “Bukti yang diminta pasti peta wasiat itu!” Joko membatin menebak apa ‘yang diminta orang. “Anak muda! Aku tidak punya waktu banyak untuk menunggu! Kalau kau tidak bisa menunjukkan bukti dari hasil apa yang terjadi di puncak Bukit Toyongga, kuharap kau segera angkat kaki dari sini! Carilah Dewa Asap Kayangan. Hanya saja kau perlu tahu. Kakakku itu tidak punya tempat tinggal tetap….” “Hem…. Apa yang harus kulakukan?! Di negeri asing begini, rasanya sulit mencari manusia seperti Dewa Asap Kayangan! Tapi mungkinkah adiknya ini bisa memenuhi permintaanku…?! Seandainya saja aku paham daerah ini dan tahu di mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran, mungkin tak sampai aku berurusan dengan orang ini…. Bodohnya diriku! Seharusnya aku bertanya sekalian pada perempuan berkerudung tadi! Dia mau menjelaskan apa yang kuminta tanpa minta bukti segala! Tidak seperti orang yang duduk membaca mantera itu! Sudah wajahnya ditutup, lalu minta bukti lagi!” Joko menggerutu dalam hati. Lalu buka mulut. “Aku akan tunjukkan bukti bahwa akulah yang membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan. Tapi sebelumnya aku minta ketegasan….” “Katakan ketegasan apa yang kau inginkan?!” “Kau nantinya mau mengantarku jika aku ingin menemui orang lain lagi?!” “Aku telah berjanji pada kakakku. Dan aku pantang ingkar! Ke mana dan apa pun yang kau minta aku akan berusaha memenuhinya!” “Hem…. Aku harus pastikan dahulu apakah dia tahu di mana tempat tinggal Dewa Cadas Pangeran….” Joko berkata dalam hati. Lalu buka suara. “Kau tahu tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran?!” Yang ditanya perdengarkan tawa perlahan bernada seakan mengejek. Lalu berkata. “Kau boleh percaya atau tidak. Dewa Asap Kayangan tidak pernah cerita panjang lebar padaku. Dia hanya bilang akan kedatangan seseorang. Tapi aku tahu banyak tentang apa yang telah terjadi!” Orang yang mengaku sebagai adik kandung Dewa Asap Kayangan ini hentikan ucapannya sesaat. Lalu dongakkan kepala dan lanjutkan ucapan. “Aku tahu tewasnya Yang Mulia Baginda Ku Nang, juga Panglima Muda Lie, dan nenek bergelar Ratu Selendang Asmara, serta Hantu Bulan Emas, dan Bayangan Tanpa Wajah…. Aku juga tahu tentang perselisihan antara gadis bernama Mei Hua dengan Dewi Bunga Asmara dan Siao Ling Ling serta Bidadari Bulan Emas karena memendam rasa padamu! Bahkan aku tahu siapa yang memberi keterangan padamu hingga kau sampai muncul di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai ini! Bukankah yang memberimu petunjuk adalah seorang perempuan berkerudung?! Aku bukan seorang peramal. Tapi aku tahu pasti, perempuan berkerudung itu tidak mau sebutkan siapa dirinya dan di mana tempat tinggalnya meski kau berusaha ingin tahu!” “Busyet! Bagaimana dia bisa tahu hal sebanyak itu?! Peristiwa di puncak Bukit Toyongga mungkin saja dia mendengar cerita dari Dewa Asap Kayangan walau dia mengaku Dewa Asap Kayangan tidak cerita apa-apa. Tapi mengenai perempuan berkerudung yang memberi petunjuk itu…. Sewaktu aku berbincang dengan perempuan berkerudung aku yakin tak ada orang yang mencuri dengar…. Tapi nyatanya dia bisa tahu…. Hem….” “Anak muda! Kalau aku tahu semua yang telah terjadi padamu, bagaimana mungkin aku tidak tahu di mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran?! Apalagi dia adalah salah seorang sahabatku?! Sekarang tunjukkan hasil dari peristiwa di Bukit Toyongga sebagai bukti kalau kau adalah orang yang membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan! Setelah itu baru aku bisa menjelaskan apa yang kau minta dan mengantarmu ke mana kau hendak menuju!” “Boleh aku tahu siapa dirimu?!” tanya murid Pendeta Sinting. “Kau datang ke tempat ini untuk berkenalan denganku atau minta keterangan?!” Orang di atas altar batu cadas balik ajukan tanya dengan suara agak tinggi. “Daripada cari penyakit, lebih baik aku segera selesaikan urusan ini!” Membatin begitu, akhirnya perlahan-lahan Pendekar 131 selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Lalu terlihatlah satu kain putih yang bersambung saat tangan kanannya ditarik keluar. Seakan tahu apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting, orang di atas altar batu cadas palingkan kepala. Rangkapan kedua tangannya yang menekan julaian kain kerudungnya bergerak membuka sedikit hingga kedua mata orang ini terlihat. Beberapa saat sepasang mata dari balik Kerudung membelalak memperhatikan kain putih bersambung yang ada di tangan Joko yang bukan lain adalah kain berisi peta wasiat yang didapat di puncak Bukit Toyongga. Kepala orang di atas altar batu cadas mengangguk pelan. Lalu diputar ke arah depan seraya berkata. “Anak muda…. Saat ini rimba persilatan masih terguncang dengan kabar berita mengenai peta wasiat. Dan mulai pula tersebar gunjingan tentang urusan Sepasang Cincin Keabadian milik Dewi Keabadian. Dan meski kau bukan berasal dari negeri ini, tapi kau tentu sudah tahu. Di mana-mana rimba persilatan pasti selalu dipenuhi dengan fitnah, balas dendam, pertumpahan darah, dan benda-benda mustika palsu!” Ucapan orang membuat Joko tersedak. Tanpa sadar dia melompat mendekat dengan dada berdebar tidak enak. Lalu seraya acungkan kain putih di tangannya dia berseru. “Kau menduga ini palsu?!” “Kau jangan salah duga dengan ucapanku. Aku tidak mengatakan kain yang ada di tanganmu adalah palsu! Tapi tidak ada salahnya kalau aku memeriksa! Karena aku tahu sendiri, saat di puncak Bukit Toyongga telah muncul beberapa benda palsu yang ada kaitannya dengan kain di tanganmu!” Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar 131 julurkan tangannya yang memegang kain berisi peta wasiat. Orang di atas altar batu cadas gerakkan tangan kanan sambuti kain dari tangan murid Pendeta Sinting. Sementara tangan kiri tetap menekan julaian kain kerudungnya hingga wajahnya tetap tidak jelas kelihatan. Untuk beberapa lama orang di atas altar batu cadas memeriksa kain yang diberikan Joko dengan dekatkan pada wajahnya. Sepasang matanya melirik silih berganti pada kain di tangannya dan pada sosok murid Pendeta Sinting yang tegak memperhatikan dengan dada berdebar-debar, khawatir kalau kain di tangannya adalah palsu. “Hem…. Kau beruntung sekali, Anak Muda…. Kain bergambar peta ini adalah asli…,” kata orang di atas altar batu cadas sambil angguk-anggukkan kepala. “Maksud kedatanganku kemari adalah ingin bertanya arah mana yang harus kuambil untuk memulai perjalanan seperti yang ada dalam peta itu. Sekaligus untuk bertanya di mana aku bisa bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran!” kata Joko dengan menghela napas lega mendengar keterangan orang. “Anak muda…. Aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi katakan dahulu. Urusan mana yang akan kau dahulukan?! Mengadakan perjalanan atau ingin bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran?!” Joko berpikir beberapa lama. Dia tampak bingung tak tahu mana yang harus didahulukan. Orang di atas altar batu cadas tampaknya bisa menangkap kebingungan murid Pendeta Sinting. Lalu berkata. “Anak muda…. Perjalananmu kelak memerlukan waktu panjang. Kalau urusanmu dengan Dewa Cadas Pangeran tidak begitu penting, menurutku, lebih baik kau selesaikan dahulu urusanmu dengan Dewa Asap Kayangan. Dengan begitu, kau bisa melakukan perjalanan dengan tenang tanpa beban! Tapi itu semua terserah padamu. Aku hanya memberi jalan….” Pendekar 131 menghela napas berulang kali. Paras wajahnya jelas menunjukkan kalau dia belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Orang di atas altar batu cadas tertawa. Lalu sambil letakkan kain peta di atas pangkuannya dia berkata. “Aku bukannya ikut campur masalahmu. Tapi kalau kau tak keberatan mengatakan urusanmu dengan Dewa Cadas Pangeran, mungkin aku bisa sedikit membantu jalan mana yang harus kau tempuh dalam urusan ini!” “Hem…. Apakah aku harus mengatakan terus terang apa perluku hendak menemui Dewa Cadas Pangeran?! Ah…. Dia adalah adik Dewa Asap Kayangan. Tak ada salahnya aku berterus terang padanya….” Joko akhirnya memutuskan, lalu berkata dengan wajah sedikit berubah karena merasa malu. “Sebenarnya urusanku dengan Dewa Cadas Pangeran tidaklah begitu penting. Tapi kalau tidak segera kuselesaikan, seperti katamu, mungkin bisa menambah beban pikiranku….” “Hem…. katakan saja urusanmu, Anak Muda! Walau aku adik Dewa Asap Kayangan, bukan tak mungkin apa yang akan kukatakan nanti tidak jauh berbeda dibanding jika kau mengatakannya pada Dewa Asap Kayangan!” “Aku pernah berjanji pada Dewi Bunga Asmara untuk menemui gurunya. Namun sebenarnya janji itu kuucapkan agar gadis itu mau membawaku ke Bukit Toyongga yang saat itu tidak kuketahui di mana letaknya. sayangnya, gadis itu salah paham dan menduga terlalu jauh. Begitu sampai di Bukit Toyongga, ternyata aku tidak sempat bicara dengan gurunya yakni Ratu Selendang Asmara, karena urusan di puncak bukit sudah memanas. Hingga akhirnya Ratu Selendang Asmara tewas….” Pendekar 131 hentikan keterangannya sesaat seraya alihkan pandangan ke jurusan lain takut orang di hadapannya tahu perubahan wajahnya. Sementara orang di atas batu cadas mendengarkan dengan seksama dengan sesekali melirik pada gerak-gerik murid Pendeta Sinting. “Setelah urusan di puncak Bukit Toyongga selesai, aku juga belum sempat bicara dengan Dewi Bunga Asmara, karena aku merasa tak enak dengan Mei Hua, dan putri Baginda Ku Nang, serta Bidadari Bulan Emas. Ternyata Dewi Bunga Asmara mengatakan perihalnya pada Dewa Cadas Pangeran yang tiba-tiba saja mengambilnya sebagai murid. Dan sebelum Dewa Cadas Pangeran meninggalkan puncak Bukit Toyongga, dia sempat mengatakan padaku agar menemuinya dengan minta bantuan Dewa Asap Kayangan untuk selesaikan urusanku dengan Dewi Bunga Asmara.” “Aku mengerti perasaanmu, Anak Muda…. Sekarang jawab jujur pertanyaanku. Kau menyintai Dewi Bunga Asmara?!” “Sebenarnya dia gadis baik meski gurunya berada di jalur yang salah…. Dia juga berparas cantik. Tapi…. Rasanya aku belum sampai pada titik jatuh cinta…. Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat! Dan hal inilah yang akan kukatakan pada Dewa Cadas Pangeran agar nantinya tidak terjadi salah paham!” “Anak muda! Sekarang jelas masalahnya. Dan menurutku, sebaiknya kau mengadakan perjalanan dahulu. Urusan dengan Dewa Cadas Pangeran bisa kau tunda….” “Mengapa begitu?!” “Urusan perempuan bukan urusan mudah, Anak Muda. Apalagi dia tahu beberapa gadis lain menaruh rasa cinta padamu. Dia memerlukan waktu untuk berpikir dan menenangkan diri! Kalau sekarang kau memberi penjelasan padanya, bukan tak mungkin dia malah akan salah paham dan membuat urusan jadi tak karuan! Waktu yang kau perlukan untuk mengadakan perjalanan kurasa cukup membuat Dewi Bunga Asmara untuk berpikir dan menenangkan diri….” “Hem…. Benar juga kata-katanya…,” gumam Pendekar 131 seraya anggukkan kepala perlahan. Tampaknya orang di atas altar batu cadas maklum akan gerakan kepala murid Pendeta Sinting. Sambil mengambil kembali kain peta di atas pangkuannya dia berkata. “Anak muda…. Setelah kau selesaikan perjalanan nanti, aku menunggumu di sini. Aku akan memberi keterangan padamu di mana kau bisa bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran. Dan terimalah kembali kainmu ini!” Orang di atas altar batu cadas julurkan tangan memberikan kembali kain putih pada Pendekar 131. Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil anggukkan kepala. Lalu mendekat dengan sambuti kainnya kembali. Namun baru saja tangannya menyentuh kain putih di tangan orang, mendadak orang di atas altar batu cadas tarik sedikit tangannya yang mengulur memberikan kain. Kejap lain sekonyong-konyong kaki kanan kirinya bergerak lepaskan tendangan! Bukan hanya sampai di situ, tangan satunya yang sedari tadi menekan julaian kain kerudungnya juga bergerak menghantam!



Dayang Tiga Purnama


Dayang Tiga Purnama
DOWNLOAD
Author : Zhaenal Fanani
language : id
Publisher: Pantera Publishing
Release Date : 2021-04-24

Dayang Tiga Purnama written by Zhaenal Fanani and has been published by Pantera Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2021-04-24 with Fiction categories.


PENDEKAR 131 hentikan langkah. Memandang si gadis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun sejauh ini murid Pendeta Sinting masih kancingkan mulut. Dayang Tiga Purnama sendiri sedikit merasa jengah dipandangi orang begitu rupa hingga dia cepat alihkan pandangan. Dalam hati dia berkata. “Apakah aku layak bertanya padanya?! Dia seperti orang asing. Mungkinkah dia tahu tentang Paduka Seribu Masalah?! Ah….” “Mau utarakan sesuatu?!” Akhirnya Joko buka suara. Dayang Tiga Purnama menoleh. Mulutnya sudah bergerak membuka. Namun entah mengapa, mendadak gadis cantik ini cepat-cepat katupkan kembali mulutnya seraya gelengkan kepala. Saat lain dia putar diri hendak melangkah. “Dari sikapnya, jelas dia ingin mengutarakan sesuatu. Tapi jelas pula dia merasa bimbang….” Joko membatin. Lalu berkata. “Aku tahu. Kau bimbang hendak ucapkan sesuatu. Harap tidak berprasangka buruk. Kita memang baru bertemu. Tapi tak ada salahnya kalau kau ingin mengutarakan sesuatu padaku. Siapa tahu kita bisa saling membantu…!” Dayang Tiga Purnama urungkan niat langkahkan kaki. Lalu perlahan-lahan putar diri lagi menghadap murid Pendeta Sinting. Tapi lagi-lagi gadis cantik ini batalkan niat untuk berucap meski mulutnya telah bergerak membuka. Pendekar 131 tersenyum. “Dayang Tiga Purnama….” Hanya sampai di situ Joko berucap. Karena si gadis telah perdengarkan suara. “Tidak keberatan mengatakan siapa kau sebenarnya?!” “Hem…. Ucapanmu membuktikan kalau kau masih menaruh sak wasangka padaku…. Tapi tak apa…. Seperti kukatakan tadi. Aku Joko Sableng!” “Bukan itu maksud pertanyaanku….” Murid Pendeta Sinting maklum akan maksud Dayang Tiga Purnama. Seraya anggukkan kepala dia berkata. “Aku memang bukan orang negeri ini. Aku berasal dari negeri jauh di seberang laut!” “Datang jauh-jauh dari negeri seberang laut. Pasti kau punya tujuan sangat penting hingga sampai di negeri ini….” Pendekar 131 gelengkan kepala. “Ceritanya sangat panjang. Yang jelas kalaupun aku sampai menginjakkan kaki di negeri ini, itu semua bukan kusengaja. Mungkin hanya takdir yang membawaku…. Tapi aku tidak kecewa dengan suratan yang harus kujalani. Karena aku selalu bertemu dengan gadis-gadis cantik sepertimu….” Wajah Dayang Tiga Purnama bersemu merah. Namun kali ini gadis cantik berbaju ungu itu tidak berusaha palingkan wajah. Sebaliknya memandang tajam pada bola mata murid Pendeta Sinting. Hingga untuk beberapa lama kedua orang ini saling berpandangan. “Aku tadi mendengar kau sebutkan nama seorang gadis…. Kau tengah dalam perjalanan mencarinya?!” tanya Dayang Tiga Purnama dengan suara sedikit direndahkan. Joko menjawab dengan gelengkan kepala seraya berucap. “Di negeri ini, aku sempat bertemu dengan beberapa orang gadis. Di antaranya adalah gadis bernama Bidadari Delapan Samudera. Kalau aku tadi menyebutnya, semata-mata karena aku melihat kemiripan antara kau dengan Bidadari Delapan Samudera…. Kau mengenalnya?!” Dayang Tiga Purnama tersenyum dengan menggeleng. Lalu berujar. “Kau tadi juga sebut-sebut orang berjuluk Paduka Seribu Masalah…. Kau mengenalnya?!” Joko terdiam beberapa lama. Tanpa sadar matanya bergerak memandang ke arah orang yang masih duduk rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu. “Aku belum bisa memastikan apakah dia manusianya yang bernama Paduka Seribu Masalah meski dari sikap dan ucapannya aku menduga dia adalah Paduka Seribu Masalah!” Joko alihkan pandangan pada Dayang Tiga Purnama. “Dari ucapan pertanyaannya, jangan-jangan gadis ini tengah mencari Paduka Seribu Masalah…. Hem…. Bagaimana aku harus menjawab?!” Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu, Dayang Tiga Purnama ulangi pertanyaan. “Kau mengenal Paduka Seribu Masalah?!” “Dia adalah sahabatku….” Dayang Tiga Purnama terkejut. “Dia baru saja mengaku sebagai orang dari negeri seberang laut. Bagaimana mungkin dia juga mengaku sebagai sahabat Paduka Seribu Masalah?! Bukankah Paduka Seribu Masalah adalah tokoh negeri ini?!” “Boleh aku bertanya. Sejak kapan kau berada di tanah Tibet?!” tanya Dayang Tiga Purnama. “Memang belum lama. Tapi mungkin nasib baik yang membawaku bisa bersahabat dengan beberapa orang di negeri ini! Sebagai orang negeri ini, tentu kau juga mengenal Paduka Seribu Masalah. Benar…?!” Joko balik bertanya untuk meyakinkan dugaan apakah orang yang tengah duduk rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu adalah Paduka Seribu Masalah. Dayang Tiga Purnama tidak segera buka mulut. Joko jadi bertanya-tanya dalam hati. “Hem…. Gadis ini sepertinya tidak mengenali orang yang duduk rangkapkan kaki itu. Jangan-jangan orang itu bukan Paduka Seribu Masalah… Kalau dia Paduka Seribu Masalah, tentu gadis ini mengenalinya sejak pertama melihat. Tapi mengapa Datuk Kala Sutera menduga orang itu adalah Paduka Seribu Masalah?! Mana di antara keduanya yang benar…?!” “Aku memang orang negeri ini…” Akhirnya Dayang Tiga Purnama berkata setelah agak lama terdiam. “Tapi nyatanya kau lebih beruntung…” “Maksudmu…?!” tanya murid Pendeta Sinting. “Kau belum lama berada di negeri ini. Tapi kau telah bersahabat dengan Paduka Seribu Masalah! Sementara aku melihat pun belum pernah!” “Hem…. Sepertinya kau punya urusan dengan Paduka Seribu Masalah!” Joko langsung menebak setelah menyimak ucapan-ucapan Dayang Tiga Purnama. “Sebenarnya aku tidak punya urusan apa-apa dengan Paduka Seribu Masalah. Bagaimana aku bisa punya urusan kalau bertemu pun belum pernah?!” “Belum pernah bertemu bukan satu jaminan kalau orang itu tidak punya urusan…” “Hem… Ucapannya benar juga… Apakah aku harus bertanya padanya?! Apakah ucapannya bisa dipercaya?!” Dayang Tiga Purnama dilanda kebimbangan. Lalu bertanya. “Benar kau adalah sahabat Paduka Seribu Masalah?!” “Aku tidak mau membuka urusan dengan orang dengan mengaku-aku dan berkata dusta!” kata Joko setelah yakin kalau orang yang duduk rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu adalah Paduka Seribu Masalah. “Mau mengatakan padaku di mana aku bisa bertemu dengannya?!” “Walau kau belum pernah bertemu, mungkin kau sudah pernah dengar. Mencari Paduka Seribu Masalah adalah urusan gampang-gampang sulit! Tidak dicari mendadak saja nongol, tapi kalau tengah dicari dia seolah lenyap ditelan bumi!” Joko hentikan ucapannya sejenak. Lalu menyambung. “Kalau kau percaya padaku, katakan saja apa urusanmu dengan Paduka Seribu Masalah! Kalau nanti aku bertemu dengannya, aku bisa mengutarakan!” Dayang Tiga Purnama menghela napas. Lalu tengadahkan sedikit kepalanya. Jelas wajahnya membayangkan perasaan gelisah dan galau. “Aku bukan tak percaya padamu…,” akhirnya Dayang Tiga Purnama berucap. “Tapi aku tidak bisa mengutarakan maksud selain pada Paduka Seribu Masalah!” “Itu sama saja kau belum percaya padaku! Tapi terserah padamu…. Aku hanya menawarkan…!” “Terima kasih…. Mungkin aku masih butuh waktu! Kalau kelak aku gagal, tidak mustahil aku terpaksa akan mengutarakan maksudku padamu…. Sekarang kau hendak ke mana?!” Dayang Tiga Purnama alihkan pembicaraan. “Benar ini tempat yang harus dilewati kalau ingin sampai Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!” “Kalau kau ingin ke lembah itu, kau telah melewati jalan yang benar!” “Terima kasih…. Aku harus segera pergi!” kata Joko seraya arahkan pandangan pada orang yang duduk rangkapkan kaki. Lalu berseru. “Sahabatku…. Bagaimana sekarang?! Kau akan terus bersamaku atau tetap berada di sini?!” “Kau jangan menakut-nakuti aku dengan ucapan seperti itu! Di antara kita sudah terjadi sepakat! Kau pasti takut pergi tanpa aku, begitu juga sebaliknya! Aku tidak akan berani tanpa bersamamu!” Mendengar ucapan orang, Joko cepat putar diri. Namun sebelum melangkah dia masih buka suara lagi. “Dayang Tiga Purnama…. Kau benar-benar tidak mau mengutarakan urusanmu dengan Paduka Seribu Masalah?!” Yang ditanya berpaling pada orang yang duduk rangkapkan kaki. “Ah…. Sebaiknya aku utarakan saja. Sepertinya dia pemuda baik-baik…. Tapi aku tidak ingin orang yang duduk itu mendengarnya pula meski dia adalah sahabat pemuda itu!” Karena tidak ada jawaban, murid Pendeta Sinting berpaling. Saat yang sama Dayang Tiga Purnama alihkan pandangan matanya dari orang yang duduk rangkapkan kaki. Lalu melangkah mendekati Joko dan berkata pelan. “Aku akan mengatakannya padamu. Tapi…” Si gadis tidak lanjutkan ucapan. Tapi melirik pada orang yang duduk rangkapkan kaki. Murid Pendeta Sinting tampaknya dapat membaca gelagat. “Kau tak ingin ada orang lain yang mendengarnya?!” Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala sambil berkata setengah berbisik. “Bukan aku tak percaya dengan sahabatmu itu. Tapi rasanya tak enak kalau urusanku diketahui banyak orang! Kuharap kau mengerti…” Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama melangkah. Joko tersenyum. Tanpa pikir panjang lagi dia segera mengikuti di belakang si gadis. Di tempat yang agak jauh dari orang yang duduk rangkapkan kaki, Dayang Tiga Purnama berhenti. Lalu berucap begitu Joko berhenti tidak jauh di belakangnya. “Sebelum kukatakan, aku minta padamu. Harap apa yang kukatakan nanti tidak kau bicarakan pada siapa saja selain dengan Paduka Seribu Masalah!” “Aku akan pegang janji! Sekarang katakanlah….” “Selama ini aku hidup bersama seorang Eyang. Pada mulanya memang seperti tidak ada hal yang perlu diselesaikan. Namun begitu aku agak besar, mulai timbul pertanyaan… Karena selama itu aku belum pernah mengenal siapa orangtuaku. Aku mulai sering menanyakan perihal kedua orangtuaku pada Eyang. Namun jawaban yang kuperoleh selama ini tidak membuatku puas. Sepertinya Eyang menyembunyikan sesuatu padaku…” Dayang Tiga Purnama hentikan keterangannya. Wajahnya berubah sedikit murung. Sementara murid Pendeta Sinting menyimak keterangan si gadis dengan seksama tanpa buka mulut. “Gelagat Eyang membuatku penasaran. Hingga tak henti-hentinya aku terus bertanya padanya. Tapi jawaban yang kuterima masih saja belum membuatku puas. Dan sikap Eyang membuatku makin yakin kalau Eyang menyembunyikan sesuatu. Hingga pada akhirnya aku memaksa Eyang untuk mengatakan apa sebenarnya yang disembunyikan padaku….” “Dia mau mengatakannya?!” Joko bertanya. Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Dia tetap tidak mau mengatakannya! Hingga aku mengancam akan pergi meninggalkan dia kalau dia tetap tidak mau membuka diri!” “Lalu…?!” “Akhirnya Eyang memberi penjelasan. Bahwa satu-satunya orang yang bisa memberi keterangan adalah Paduka Seribu Masalah! Tapi jawaban itu belum membuatku tenang. Aku bertanya mengapa harus Paduka Seribu Masalah yang memberi keterangan! Eyang tidak mau menjelaskan. Dia hanya berpesan, kalau aku ingin tahu, aku harus mencari Paduka Seribu Masalah!” Untuk kedua kalinya Dayang Tiga Purnama hentikan ucapannya. Setelah menghela napas dan arahkan pandangan pada orang yang duduk rangkapkan kaki di seberang sana, gadis ini buka mulut lagi. “Aku bertanya pada Eyang di mana bisa kutemui Paduka Seribu Masalah. Jawaban yang kuterima hampir mirip dengan ucapanmu tadi. Mencari Paduka Seribu Masalah adalah urusan gampang-gampang susah! Dia tidak bisa ditentukan di mana beradanya. Lebih dari Itu aku tidak memperoleh keterangan bagaimana manusia yang bernama Paduka Seribu Masalah!” “Hem…. Lalu mengapa kau berada di tempat ini?!” “Daerah ini adalah tempat tinggalku. Di sebelah sana ada sebuah goa agak besar. Di sanalah selama ini aku hidup bersama Eyang….” Dayang Tiga Purnama arahkan telunjuknya pada satu jurusan. “Joko…. Seandainya kau nanti bertemu dengan Paduka Seribu Masalah, kuharap kau mau membantuku. Kau telah tahu di mana tempat tinggalku….” “Kau yakin Paduka Seribu Masalah dapat membuka rahasia hidupmu?!” “Pada mulanya aku memang heran dengan keterangan Eyang. Tapi setelah aku mencari keterangan, aku mendapatkan kabar, jika manusia yang bergelar Paduka Seribu Masalah adalah seorang yang memiliki kepandaian aneh. Dia tahu seribu masalah orang meski orang yang belum pernah dikenalnya! Tapi aku mendapatkan kesulitan untuk mencarinya meski aku telah berusaha!” Pendekar 131 menghela napas panjang seakan ikut merasakan kesenduan Dayang Tiga Purnama. Lalu berkata pelan. “Masih ada yang hendak kau sampaikan?!” Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Aku hanya meminta kau tidak mengatakan apa yang baru kuutarakan pada orang lain selain Paduka Seribu Masalah…” Pendekar 131 anggukkan kepala. Lalu arahkan pandang matanya pada orang yang duduk rangkapkan kedua kaki. “Dayang Tiga Purnama… Aku harus segera teruskan perjalanan. Kalau boleh tahu, apakah aku masih memerlukan sampan untuk melintasi enam sungai berikutnya?!” “Kau tidak perlu lagi sampan itu. Kau memang akan melintasi enam sungai lagi sebelum mencapai lembah. Tapi sungai itu bisa dilewati dengan melompat-lompat. Karena hanya aliran sungai kecil dan banyak batu-batu yang dapat kita buat loncatan hingga sampai ke tepian….” “Terima kasih…. Sekarang aku harus pergi. Mudah-mudahan aku segera memperoleh keterangan yang kau perlukan….” Habis berkata begitu, Joko melangkah kembali ke arah orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun baru mendapat enam langkah dia ingat sesuatu. Seraya palingkan wajah, Joko bertanya. “Siapa nama eyangmu…?!” “Kita nanti mungkin masih bertemu lagi. Kelak aku akan memberitahukan padamu! Selamat jalan….” Joko tersenyum, lalu berpaling lagi pada orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun baru saja kepalanya bergerak, sosok yang duduk rangkapkan kaki telah membuat gerakan. Sosoknya melesat dengan tetap dalam posisi duduk dan saat lain sudah berada jauh di sana! “Hai! Tunggu…!” Joko berteriak, lalu berlari menyusul. Dayang Tiga Purnama pandangi sosok murid Pendeta Sinting. Saat itulah mendadak dia sadar. “Ah… Mengapa aku cepat percaya pada pemuda itu…?! Padahal aku belum kenal betul siapa dia… Tapi… Mudah-mudahan saja semua keterangannya benar….” Dayang Tiga Purnama terus memperhatikan hingga sosok murid Pendeta Sinting dan orang yang tadi duduk rangkapkan kaki lenyap di ujung sana. Lalu putar diri melangkah. Aneh, di pelupuk matanya terus terbayang paras Pendekar 131 Joko Sableng!



Cadas Pangeran


Cadas Pangeran
DOWNLOAD
Author : R. Moh. Achmad Wiriaatmadja
language : id
Publisher:
Release Date : 2003

Cadas Pangeran written by R. Moh. Achmad Wiriaatmadja and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2003 with categories.




Cadas Pangeran


Cadas Pangeran
DOWNLOAD
Author : Aan Merdeka Permana
language : su
Publisher:
Release Date : 2009

Cadas Pangeran written by Aan Merdeka Permana and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2009 with categories.




Kuil Atap Langit


Kuil Atap Langit
DOWNLOAD
Author : Zhaenal Fanani
language : id
Publisher: Pantera Publishing
Release Date : 2021-04-24

Kuil Atap Langit written by Zhaenal Fanani and has been published by Pantera Publishing this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2021-04-24 with Fiction categories.


TERDENGAR deruan dua gelombang luar biasa ganas. Dua angin berkiblat laksana prahara. Untuk kesekian kalinya udara di tempat itu disamaki muncratan tanah yang tersapu gelombang. Murid Pendeta Sinting tak punya pilihan lain kecuali harus menghadang pukulan yang datang. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan serta-merta lepaskan pukulan dengan dorong kedua tangannya. Dua gelegar segera terdengar saat pukulan yang dilepas Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah bentrok dengan pukulan jarak jauh yang dilepas Joko. Sosok Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara tampak tersurut dua langkah dengan wajah sama berubah pucat. Tangan masing-masing orang bergetar keras. Di lain pihak, sosok murid Pendeta Sinting juga tersapu dan mundur dua tindak. Paras wajahnya juga pias. Sementara di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara segera melompat begitu bentrok pukulan terjadi. Namun entah mengapa, begitu ledakan terdengar, gadis cantik bertubuh menggoda ini bukannya berpaling ke arah Ratu Selendang Asmara, melainkan menoleh ke tempat Joko tadi tegak berdiri menghadang pukulan! Wajahnya jelas membayangkan rasa khawatir dan cemas! “Hem…. Aku sekarang jadi yakin….” Ratu Selendang Asmara bergumam dengan kepala menoleh pada Bayangan Tanpa Wajah. “Pemuda ini membekal ilmu tinggi! Kita tak boleh memandang sebelah mata kalau tidak ingin mendapat celaka!” “Tapi ingat! Keterangan dari mulutnya sangat kita perlukan! Kalau sampai dia mampus, lepas pula apa yang kita inginkan!” sahut Bayangan Tanpa Wajah. “Kita coba dengan bentrok langsung!” Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah segera berkelebat ke depan. Ratu Selendang Asmara tidak menunggu. Begitu Bayangan Tanpa Wajah berkelebat, dia segera pula melesat ke depan. Joko tak mau bertindak ayal. Dia tidak menunggu datangnya pukulan lawan. Begitu melihat gerakan orang berkelebat, dia cepat pula melompat dan menyongsong. Tangan kiri kanan menghadang pukulan Bayangan Tanpa Wajah, sementara kaki kanannya membuat gerakan menghadang sergapan kedua tangan Ratu Selendang Asmara! Sergapan Joko membuat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara sempat terkesiap kaget karena mereka sama sekali tidak menduga. Hingga mereka berdua lepaskan pukulan tanpa pengerahan tenaga dalam penuh karena telah dipotong oleh sergapan gerakan murid Pendeta Sinting. Bukkk! Bukkk! Bukkk! Terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut. Tubuh Pendekar 131 mental balik dan terhuyung sesaat. Namun segera dapat kuasai diri meski dia merasakan dadanya nyeri dan kedua tangan serta kaki kanannya laksana menghantam dinding kokoh. Aliran darahnya menyentak-nyentak dan mulutnya tampak terbuka menutup megap-megap! Di pihak lain, tubuh Bayangan Tanpa Wajah mencelat terbang seraya perdengarkan seruan tertahan. Orang berwajah hitam ini memang tidak sampai jatuh menghantam tanah. Namun karena sewaktu lepaskan pukulan dalam keadaan belum siap betul, maka tak ampun lagi dia merasakan dadanya sesak dan kedua tangannya lunglai. Dia cepat salurkan tenaga dalam dan mengurut dadanya ketika merasakan perutnya mual tanda ia mengalami cedera dalam walau tidak parah. Di sebelahnya, begitu benturan terjadi, kedua tangan Ratu Selendang Asmara tampak terlempar balik ke belakang. Hal ini membuat sosoknya terputar di udara sebelum akhirnya terpelanting di atas udara. Untung nenek ini cepat membuat gerakan jungkir balik satu kali, hingga meski sempat terhuyung-huyung kala mendarat di atas tanah, namun tidak sampai terjerembab! “Harap dimaafkan…. Aku tidak punya waktu banyak untuk terus berada di sini! Aku harus menemui kekasihku…,” ujar Joko. “Kau tak akan meninggalkan tempat ini tanpa menjawab jujur pertanyaan kami!” sahut Ratu Selendang Asmara. Si nenek telah sentakkan selendang hitam di pundaknya. Selendang hitam panjang itu diputar-putar perdengarkan deruan angker. Tidak jauh dari Ratu Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah memandang tajam dengan mulut terkancing rapat. Kedua tangannya menakup di atas kepala. Pendekar 131 sempat terkesiap ketika melihat paras wajah Bayangan Tanpa Wajah. Karena wajah orang ini berubah-ubah. Sesaat tampak membentuk seperti raut wajah orang biasa, namun saat lain berubah menjadi tanpa bentuk. Hal ini berlangsung terus menerus. Inilah tanda jika Bayangan Tanpa Wajah telah dilanda kemarahan besar! Mendadak Bayangan Tanpa Wajah hentakkan kaki kanannya. Dari takupan kedua tangannya melesat asap hitam ke udara. Dengan cepat asap hitam menukik dan menghantam tanah. Begitu bersentuhan dengan tanah, asap hitam membentuk dua bayangan sosok manusia tanpa wajah. Bayangan Tanpa Wajah buka takupan kedua tangannya lalu disentakkan ke depan. Saat yang sama dua sosok bayangan hitam tanpa wajah ikut pula gerakkan kedua tangan masing-masing. Bukan hanya sampai di situ, begitu lepas pukulan, dua sosok bayangan hitam tanpa wajah segera membuat gerakan berputar-putar. Kini dua sosok bayangan hitam itu berubah menjadi beberapa bayangan hitam! Tiga gelombang asap hitam menyergap ganas ke arah Pendekar 131. Saat bersamaan dua sosok bayangan hitam yang berputar dan berubah menjadi beberapa bayangan terus mengitari sosok murid Pendeta Sinting. Mereka seolah tidak terpengaruh dengan gelombang asap hitam yang baru saja melesat. Pendekar 131 cepat siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’. Saat itu juga kedua tangannya berubah disemburati warna kekuningan. Namun Joko tidak bisa benar-benar pusatkan perhatian. Karena perhatiannya pecah oleh beberapa bayangan hitam yang terus berputar dan mendekat ke arahnya. Dia jadi serba salah. Kalau menghadang pukulan orang, dia khawatir beberapa bayangan hitam yang berputar akan langsung menyergapnya. Namun kalau tidak menghadang pukulan orang, niscaya jiwanya tidak akan selamat! Dalam keadaan begitu rupa, Joko berpikir cepat. Dia segera melepas pukulan ‘Lembur Kuning’. Dan begitu kedua tangannya telah bergerak, dia melompat ke atas. Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat segera menyambar disertai bertebarannya hawa panas luar biasa. Sinar warna kuning berkiblat silaukan mata. Tiga gelombang asap hitam tampak tertahan di atas udara. Lalu tersapu begitu sinar kuning berkiblat. Tiga gelombang asap hitam bertabur berantakan. Sinar kuning mental lalu porak-poranda! Terdengar tiga gelegar ledakan. Sosok Bayangan Tanpa Wajah terbang tersapu sampai satu setengah tombak ke belakang. Bersamaan dengan itu putaran beberapa bayangan hitam terhenti lalu ikut bergerak mundur beberapa langkah! Kedua kaki Bayangan Tanpa Wajah tampak menekuk lalu jatuh terduduk dengan mulut semburkan darah. Hebatnya, beberapa bayangan hitam yang sesaat mundur, tiba-tiba bergerak dan berputar lagi! Malah putarannya makin cepat dan Joko laksana hanya melihat bayangan samar-samar! Saat itulah Pendekar 131 mendengar beberapa deruan dahsyat. Joko tak mau menunggu. Dia kembali siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’ meski sosoknya sempat terpelanting jungkir balik di atas udara. Namun belum sampai kedua tangan Joko bergerak lepaskan pukulan ke arah beberapa bayangan di bawah, satu benda hitam meliuk ganas perdengarkan suara angker. Murid Pendeta Sinting urungkan niat untuk lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Sebaliknya segera hantamkan kedua tangannya ke arah benda hitam yang bukan lain adalah selendang hitam milik Ratu Selendang Asmara! Namun ternyata gerakan selendang hitam lebih cepat dari hantaman kedua tangan Joko. Hingga tanpa ampun lagi ujung selendang hitam menyambar ke arah lambung murid Pendeta Sinting. Breett! Pakaian Joko langsung robek menganga. Saat yang sama beberapa gelombang dahsyat menyambar dari bawah! Joko tersentak. Kedua tangannya yang belum sempat menghantam cepat ditarik pulang lagi lalu dihantamkan ke arah beberapa gelombang yang datang. Bummm! Bummmm! Bummm! Bummmm! Terdengar beberapa kali ledakan keras. Beberapa bayangan hitam langsung perdengarkan suara laksana api terkena siraman air. Lalu kepulkan asap hitam membubung ke angkasa. Saat itulah terdengar bentakan keras dari mulut Bayangan Tanpa Wajah. Asap hitam menukik deras lalu melesat dan masuk ke dalam takupan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah yang tampak duduk bersila dengan mata terpejam. Di atas udara sana, sosok murid Pendeta Sinting terbanting dua kali. Saat lain sosoknya melayang ke bawah. Ratu Selendang Asmara tak menunggu lagi. Tangan kanannya segera bergerak. Selendang hitam meliuk ganas. Joko masih dapat menangkap gerakan selendang hitam. Namun sudah terlambat baginya untuk membuat gerakan menghadang atau berkelit. Ratu Selendang Asmara menyeringai. Tangan kanannya yang memegang selendang hitam bergerak dua kali. Tahu-tahu tukikan sosok murid Pendeta Sinting tertahan. Joko melirik karena dia tidak bisa bernapas. Ternyata bagian perut dan dadanya telah terlilit selendang hitam si nenek! Walau masih menahan sakit pada kedua tangan dan dadanya akibat bentrok pukulan, namun Joko masih berusaha untuk hantamkan kedua tangannya untuk memotong gerakan selendang. Tapi si nenek lebih cepat bergerak. Dia sentakkan tangan kanannya. Selendang hitam yang melilit perut dan dada murid Pendeta Sinting pun terlepas. Namun bersamaan itu sosok Joko menukik deras dan akhirnya jatuh terkapar di atas tanah dengan mulut kucurkan darah! Bayangan Tanpa Wajah tak sia-siakan kesempatan. Dia segera melesat ke depan dengan posisi masih duduk bersila. Tangan kiri kanannya berkelebat hendak sarangkan dua totokan dahsyat. Pendekar 131 hanya bisa memandang pada gerakan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah tanpa bisa membuat gerakan apa-apa! Takkkk! Tangan kanan Bayangan Tanpa Wajah lakukan totokan pada lambung kiri Pendekar 131. Sementara tangan kiri terus berkelebat hendak sarangkan totokan pada pundak kanan murid Pendeta Sinting. Joko berseru tertahan. Dia merasakan lambungnya kaku dan separo anggota tubuhnya sebelah kiri tegang tak bisa digerakkan! Namun Joko masih coba gerakkan tangan kanan untuk menghadang kelebatan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah. Tapi gerakan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah rupanya lebih cepat. Hingga baru saja murid Pendeta Sinting angkat tangan kanannya, tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sudah menyusup ke arah ketiaknya! Satu telunjuk jari lagi tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sarangkan totokan, mendadak satu bayangan putih berkelebat. Tidak terdengar adanya gelombang yang menyambar. Namun bersamaan itu sosok tubuh murid Pendeta Sinting tersapu ke belakang lalu menyusur tanah dan akhirnya menghantam satu gugusan batu di belakang sana. Namun sapuan itu membuat dirinya selamat dari totokan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah. Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan dengusan keras. Dia cepat berpaling ke samping kanan. Dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa adanya bayangan putih. Namun Bayangan Tanpa Wajah tidak peduli. Dia maklum kalau ada orang yang ikut campur urusannya. Hingga tanpa melihat siapa adanya orang, dia segera hantamkan kedua tangannya. Ratu Selendang Asmara terlengak melihat munculnya orang. Tanpa pedulikan pula siapa adanya orang, dia sentakkan selendang di tangan kanannya. Selendang hitam meliuk ganas. Orang berbaju putih membuat gerakan berputar satu kali. Tangan kiri kanannya bergerak. Gelombang yang menggebrak dari kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah langsung ambyar lenyap! Bahkan bersamaan itu sosok Bayangan Tanpa Wajah terjengkang jatuh di atas tanah. Di lain pihak, tiba-tiba gerakan selendang hitam Ratu Selendang Asmara laksana dihempas gelombang luar biasa dan mental balik! Tangan kanan si nenek terlempar ke belakang. Orang berbaju putih gerakkan tangan kirinya sekali lagi ke arah ujung selendang yang ikut tertarik ke belakang. Selendang hitam milik Ratu Selendang Asmara meliuk dan tahu-tahu melilit pada tubuh si nenek sendiri! Orang berbaju putih putar pandangan sesaat. Lalu berkelebat ke arah jatuhnya murid Pendeta Sinting. Tanpa perdengarkan suara, dia gerakkan tangan kanannya. Tahu-tahu sosok tubuh Joko sudah berada di pundak kanan orang. Bayangan Tanpa Wajah menggeram marah. Dia cepat bergerak duduk. Kembali kedua tangannya lepas pukulan. Ratu Selendang Asmara tak berdiam diri. Tangan kirinya ikut lepas pukulan. Di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara yang sejak tadi hanya melihat seraya bergerak mundur hindarkan diri dari bias bentroknya pukulan, segera pula hantamkan kedua tangan begitu melihat orang berbaju putih angkat tubuh murid Pendeta Sinting. Gabungan pukulan tiga orang melesat angker ke arah orang berbaju putih. Di depan sana, orang berbaju putih hanya memandang sesaat. Tanpa berusaha menghadang pukulan, dia sentakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat ke samping lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Blarr! Blarrr! Blarrr! Gugusan batu di belakang mana tadi Joko terkapar langsung semburat. Tanahnya ikut bertabur menutup pemandangan. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara hendak mengejar. Namun mendadak mereka urungkan niat masing-masing tatkala mereka berdua merasakan sekujur tubuhnya kaku tak bisa digerakkan! Di lain pihak, karena tidak merasakan seperti apa yang dialami Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Dewi Bunga Asmara segera berkelebat. “Tahan!” seru Ratu Selendang Asmara, membuat Dewi Bunga Asmara hentikan gerakan. Dia berpaling pada gurunya yang perlahan-lahan melorot jatuh di atas tanah dengan selendang masih melilit tubuhnya. “Bang Sun Giok! Cepat lepas lilitan selendang ini! Lalu lepas pula totokan keparat di tubuhku!” Ratu Selendang Asmara berteriak. “Aneh…. Bagaimana mungkin dia bisa terkena totokan?!” kata Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara dalam hati seraya melompat ke arah gurunya. Dia cepat lepaskan lilitan selendang pada tubuh Ratu Selendang Asmara. “Apa lagi yang kau tunggu! Lepas totokan di empat jalur darah punggungku!” kata Li Muk Cin alias Ratu Selendang Asmara ketika mendapati Dewi Bunga Asmara masih diam memperhatikan. Walau masih merasa heran, namun Dewi Bunga Asmara cepat melangkah ke belakang. Kedua tangannya bergerak di empat tempat punggung Ratu Selendang Asmara. Ratu Selendang Asmara sendiri tampak pejamkan kedua matanya. Dan begitu Dewi Bunga Asmara telah gerakkan kedua tangannya, si nenek menghela napas panjang. Perlahan-lahan sepasang matanya dibuka lalu bangkit berdiri dan melangkah ke arah Bayangan Tanpa Wajah yang duduk bersimpuh tak bergerak-gerak. Ratu Selendang Asmara duduk bersila di depan Bayangan Tanpa Wajah. Saat bersamaan kedua tangannya bergerak. Jari telunjuk kedua tangannya dilipat lalu dihantamkan perlahan pada empat tempat di sekitar dada dan lambung Bayangan Tanpa Wajah. Bayangan Tanpa Wajah mendongak. “Orang itu melepas pukulan ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ tingkat tiga!” “Bagaimana mungkin? Bukankah satu-satunya orang yang menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ sudah dikabarkan tewas karena beberapa puluh tahun terakhir tidak terdengar lagi beritanya?!” sahut Ratu Selendang Asmara dengan wajah keheranan. “Kabar yang tersiar tidak selamanya benar. Terbukti masih ada orang yang bisa melepas ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!” “Jadi…?” “Aku yakin orang tadi itu adalah Bu Beng La Ma! Satu-satunya orang di daratan Tibet yang menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!” “Hem…. Ini satu tanda kalau rencana kita akan terganjal! Mustahil kita mampu berhadapan dengan Bu Beng La Ma!” “Ini juga satu isyarat jika pemuda itulah yang kita cari! Tak mungkin Bu Beng La Ma turun tangan tanpa ada sesuatu yang sangat penting! Apalagi akhir-akhir ini namanya sudah lenyap dari peredaran rimba persilatan. Bahkan hampir semua orang sudah menduga kalau dia telah tewas ditelan usia!” kata Bayangan Tanpa Wajah seraya beranjak bangkit mengikuti Ratu Selendang Asmara yang bangkit dahulu. “Lalu apa yang harus kita perbuat?!” “Kita teruskan rencana pencarian ini! Tak mungkin Bu Beng La Ma akan terus mengikuti ke mana langkah pemuda itu!” jawab Bayangan Tanpa Wajah seraya menahan dadanya dengan kedua tangan karena masih terasa nyeri. “Selama ini aku hanya mengenal Bu Beng La Ma tanpa tahu di mana tempat tinggalnya! Kau tahu di mana tokoh itu berdiam diri?!” tanya Ratu Selendang Asmara. “Mendiang guruku pernah bercerita. Bu Beng La Ma tinggal di sebuah kuil di puncak bukit. Karena kuil itu tidak beratap, kalangan rimba persilatan saat itu menamakannya Kuil Atap Langit.” “Tempatnya…?!” “Perjalanan dua hari dua malam dari pesisir ke arah utara!” “Kita harus ke sana!” kata Ratu Selendang Asmara. “Kita tunggu sampai pemuda itu turun bukit! Dan sedapat mungkin kita hindari bentrok dengan Bu Beng La Ma!” Tanpa menunggu jawaban dari Bayangan Tanpa Wajah, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Dewi Bunga Asmara. “Sun Giok! Kau pulanglah! Perjalanan ini sangat berbahaya!” Dewi Bunga Asmara geleng kepala. “Aku ikut!” Karena sudah tahu bagaimana sifat muridnya, meski amat berat pada akhirnya Ratu Selendang Asmara tak bisa mencegah. “Tapi kau harus berhati-hati! Jangan berani lancang melepas pukulan kalau tidak dalam keadaan terpaksa! Kau kuajak hanya untuk berjaga-jaga bila sesuatu terjadi padaku!” Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala meski dalam hati dia mengatakan sebaliknya. “Aku sudah besar. Aku tahu apa yang harus kulakukan!” “Kita berangkat sekarang!” kata Ratu Selendang Asmara. Dia memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara. Saat lain si nenek mendahului berkelebat. Disusul kemudian oleh Dewi Bunga Asmara. Bayangan Tanpa Wajah menyusul di belakang.



High Above The Alps


High Above The Alps
DOWNLOAD
Author : Kurt Stüwe
language : en
Publisher:
Release Date : 2012

High Above The Alps written by Kurt Stüwe and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2012 with Alps categories.